Saya sudah merencanakan untuk menulis sesuatu tentang Bulan Bahasa pada Oktober tahun ini. Namun, hingga menjelang tanggal 28, saya belum menemukan ide apa pun. Saya sudah menyerah. Mungkin, tidak ada yang perlu saya sampaikan mengenai perayaan Bulan Bahasa tahun ini. Pikiran tersebut terbantahkan ketika pagi ini saya membaca sebuah esai dari Dea Anugrah dalam buku Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya (2021).

Esai yang saya baca berjudul “Bersantai di Komering, Kabar Burung dari Pasundan”. Dea berkisah tentang Bur Rasuanto, seorang novelis dan wartawan Tempo yang memperkenalkan kata santai dari bahasa Komering (Sumatra Selatan) sebagai padanan untuk relax.

Dari esai itu juga, saya baru mengetahui bahwa tsunami berasal dari bahasa Jepang, yakni tsu (‘pelabuhan’) dan nami (‘ombak’). Padahal, di Aceh, ada kata smong yang menurut Alfi Rahman dan Stephen A. Sutton (2019) merujuk pada peristiwa “runutan gempa/laut surut/gelombang raksasa yang khas dari peristiwa tsunami di Indonesia”. Saat ini, kita sudah bisa menemukan kata semong dalam kamus yang memaknai ‘tsunami’. 

Tulisan Dea Anugrah menyadarkan saya kembali mengenai nasib bahasa daerah di Indonesia. Rasanya kita begitu getol mengedepankan bahasa Indonesia dan barangkali bahasa daerah menjadi korban atas upaya tersebut, seperti yang dituliskan oleh Ahmad Najib Burhani (2021) dalam “Bulan Bahasa”: “Jika keseragaman dalam bahasa nasional tertentu terlalu dominan, ekses negatifnya bisa berupa tertekannya khazanah bahasa dan budaya lokal.” 

Pada Bulan Bahasa 2023, digelar Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII bertajuk “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa”—sebagai informasi, bentuk yang baku adalah bineka, bukan bhineka. Salah satu subtema dalam KBI XII ialah pewarisan bahasa ibu atau bahasa daerah di ranah keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Mengenai KBI, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengatakan, “Rangkaian acara KBI XII berbicara tentang bagaimana kita merevitalisasi dan mengarusutamakan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di dalam konteks Indonesia. Bahasa harus menjadi pencerminan dari budaya dan masyarakat Indonesia.” Terdapat poin bahasa daerah dalam pernyataan tersebut.

Memang, pada 2023, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menginisiasi Program Revitalisasi Bahasa Daerah yang mencakup 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Meskipun begitu, ancaman kepunahan bahasa daerah selalu menanti. “Pada akhirnya, kepunahan barangkali tak terhindarkan bagi sejumlah bahasa daerah di Indonesia,” tulis Dea. Baginya, kepunahan ini juga tidak terpisahkan dari prestise bahasa Indonesia yang membuka potensi lebih luas dalam pendidikan dan pekerjaan.

Saya berdoa agar perayaan Bulan Bahasa 2023 bisa menyadarkan kita bahwa, untuk hari ini dan ke depannya, masing-masing dari kita berperan dalam melestarikan bahasa daerah. Saya pernah membaca, pada 2019, di Maluku, ada aturan yang mewajibkan siswa di sekolah untuk berbahasa Indonesia. Namun, mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia berpotensi menerima cibiran dan hukuman. Semoga kasus seperti itu tidak terjadi lagi.

 

Referensi

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin