Apakah Kerabat Nara pernah kesulitan untuk menjelaskan sebuah perasaan dengan kata-kata? Saya sering mengalami ini. Misalnya, ketika secara tidak sengaja bertatap-tatapan dengan seseorang yang saya sukai, ada perasaan senang di dalam diri saya. Namun, sepertinya, perasaan itu tidak sepenuhnya tepat jika didefinisikan melalui kata senang. Contoh lainnya, saya pernah merasa kesepian meskipun kala itu saya sedang berkumpul bersama teman-teman. Lagi-lagi, kata kesepian tidak seratus persen mampu mewakili apa yang sedang saya rasakan.

Hari ini, saya membaca berita mengenai John Koenig. Dia adalah penulis dan penyusun kamus The Dictionary of Obscure Sorrows (2021). Koenig juga membesarkan sebuah kanal YouTube dengan nama yang sama dengan judul bukunya. Pada episode pertamanya, Koenig menyatakan bahwa “Our mission is to fill all the holes left in the language, and give them each a name.” Koenig berfokus pada neologisme atau ‘ungkapan baru yang diciptakan dengan sengaja demi pembaruan atau untuk memberi ciri pribadi’ perasaan. Dengan kata lain, Koenig berupaya menciptakan kata atau frasa baru yang berkaitan dengan perasaan.

Ketika secara tidak sengaja bertatap-tatapan dengan seseorang yang kita sukai, sebutlah gebetan, Koenig menyebutnya sebagai ecstatic shock. Frasa ini adalah frasa nominal yang mengartikan ‘the surge of energy upon catching a glance from someone you like—a thrill that starts in your stomach, arcs up through your lungs and flashes into a spontaneous smile—which scrambles your ungrounded circuits and tempts you to chase that feeling with a kite and a key’. Definisi tersebut tentu lebih spesifik ketimbang senang.

Kemudian, perasaan kesepian di tengah keramaian adalah kenopsia, yakni ‘the eerie, forlorn atmosphere of a place that’s usually bustling with people but is now abandoned and quiet—a school hallway in the evening, an unlit office on a weekend, vacant fairgrounds—an emotional afterimage that makes it seem not just empty but hyper-empty, with a total population in the negative, who are so conspicuously absent they glow like neon signs’. Koenig membuat sebuah kamus untuk ragam perasaan yang tidak ada dalam kamus umum.

Apa yang dilakukan Koenig, menurut saya, merupakan sebuah upaya yang patut diapresiasi. Terlebih, begitu saya mencari tahu, Koenig ternyata melakukan riset yang cukup mendalam terhadap bahasa-bahasa di dunia, di antaranya adalah Inggris, Latin, Yunani, Finlandia, Islandia, Jepang, Belanda, Rusia, bahkan Etruria (Italia Kuno).

Ya, kata-kata atau frasa yang Koenig cetuskan tidaklah tercipta begitu saja. Dia memanfaatkan kata-kata yang sempat atau sudah ada dan memodifikasinya. “Kita mengizinkan kata-kata mendefinisikan kita, tetapi menurut saya, seharusnya kitalah yang mendefinisikan kata-kata,” ungkap Koenig.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin