“Kamu jangan jadi orang tidak enakan terus, dong!”
Kerabat Nara pernah mendapat ujaran seperti itu dari orang yang dikenal? Atau, Kerabat Nara mengatakan kalimat tersebut kepada diri sendiri setelah melakukan hal yang menurut Kerabat Nara merugikan diri sendiri? Dalam pragmatik, hal tersebut dapat dijelaskan dengan prinsip kesantunan.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Setiap hari manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Saat berkomunikasi, tentu ada sikap yang harus dijaga oleh penutur dan mitra tutur supaya dapat terjadi tuturan yang santun (Jayanti & Subyantoro, 2019). Hal ini disebut kesantunan berbahasa.
Syahrul (dalam Putri dkk., 2019) mengatakan bahwa kesantunan menyangkutpautkan bahasa dengan aspek-aspek kehidupan struktur sosial serta kode-kode perilaku dan etika. Kesantunan memiliki peran penting sebagai penghubung antara bahasa dan realitas sosial yang bentuk penggunaan bahasanya selalu dikaitkan dengan hubungan sosial dan peran sosial.
Leech (dalam Putri dkk., 2019) mengungkapkan teori kesantunan yang berdasar pada prinsip kesantunan menjadi enam maksim. Keenam maksim tersebut adalah sebagai berikut.
- Kebijaksanaan (tact maxim)
Menurut maksim ini, setiap peserta tutur harus meminimalkan kerugian yang diperoleh orang lain dan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh orang lain.
- Penerimaan (generosity maxim)
Maksim ini menginginkan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan kerugian untuk diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
- Kemurahan (approbation maxim)
Maksim kemurahan ini menuntut setiap peserta tutur untuk memaksimalkan rasa hormatnya kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
- Kerendahan hati (modesty maxim)
Maksim ini meminta setiap peserta tutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
- Kecocokan/kesetujuan (agreement maxim)
Maksim kecocokan ini menginginkan supaya setiap peserta tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.
- Kesimpatian (sympathy maxim)
Maksim ini mengharuskan semua peserta tutur untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.
Demikian keenam maksim teori kesantunan yang diungkapkan oleh Leech. Jika dihubungkan dengan peristiwa sehari-hari, ternyata kita sudah melaksanakan prinsip kesantunan secara tidak sadar. Mari, kita ulik contoh setiap maksim.
Pertama, kamu diundang sebagai orang terakhir oleh teman-temanmu untuk ikut jalan-jalan dengan alasan mereka kekurangan kendaraan dan kamu memilih untuk ikut dengan meminjamkan kendaraanmu. Saat itu, sebenarnya kamu sedang melakukan prinsip kesantunan maksim kebijaksanaan dan penerimaan. Hasil dari maksim kebijaksanaan yang dilakukan adalah kamu dan teman-temanmu pergi jalan-jalan, sedangkan hasil dari maksim penerimaan adalah kamu merasa rugi secara emosional karena menjadi orang terakhir yang diundang untuk meminjamkan kendaraan.
Contoh kedua adalah saat kamu sedang mengerjakan soal ujian lalu didatangi oleh pengawas. Di dalam ruangan yang penuh dengan peserta ujian lain, pengawas tersebut mengatakan bahwa kamu melihat jawaban orang lain secara diam-diam, padahal sebenarnya tidak. Kamu ingin membantah apa yang dikatakan oleh pengawas tersebut, tetapi mengurungkannya karena kamu menghormatinya. Ini adalah saat kamu melaksanakan maksim kemurahan (menghormati pengawas ujian) dan maksim kerendahan hati (membiarkan dirimu dipermalukan oleh pengawas ujian di depan peserta ujian lain).
Prinsip kesantunan juga diterapkan saat kamu dan rekan-rekan organisasimu telah melakukan rapat selama beberapa jam hingga akhirnya mencapai mufakat. Kalian telah melaksanakan maksim kecocokan.
Contoh terakhir, saat kamu ikut bersedih untuk temanmu yang mengalami kejadian tidak menyenangkan, lalu kamu berusaha untuk mengerti keadaannya dan berusaha menghiburnya, sebenarnya kamu telah melaksanakan maksim kesimpatian. Hal ini ditandai dengan kamu berusaha untuk mengerti keadaan temanmu yang sedang bersedih.
Rujukan:
- Jayanti, M., & Subyantoro, S. (2019). “Pelanggaran Kesantunan Berbahasa pada Teks di Media Sosial”. Jurnal Sastra Indonesia, 8(2), 119-128.
- Putri, S. W., Gani, E., & R., S. (2019). “Penggunaan Prinsip Kesantunan Berbahasa dalam Talk Show Mata Najwa Edisi ‘100 Hari Anies-Sandi Memerintah Jakarta’”. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra, 15(1), 76-84.
Penulis: Durrotun Zahroh ‘Afifah
Penyunting: Rifka Az-zahra