Subjek dan predikat di dalam kalimat menjadi unsur terpenting. Bayangkan, jika subjek dan predikat tidak ada, informasi pada kalimat tentu tidak akan jelas. Bukan hanya penulis, pembaca pun perlu memahami kehadiran subjek dan predikat untuk mengetahui inti dari kalimat tersebut.
Subjek dan predikat selalu berdekatan karena predikat berfungsi untuk menjelaskan subjek. Secara umum, subjek selalu berada sebelum predikat, kecuali pada kalimat inversi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pembaca dapat mengetahui bahwa kalimat tersebut adalah kalimat inversi?
Inversi (dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia/TBBBI, 2017 adalah pembalikan urutan antara subjek dan predikat. Jadi, inversi dalam bahasa Indonesia akan menghasilkan konstruksi kalimat dengan predikat mendahului subjek. Namun, ada kemungkinan pembaca mengira bahwa kalimat tersebut seperti tidak memiliki subjek atau predikat, tetapi tetap terterima. Selain itu, pembaca juga bisa salah menentukan subjek atau predikatnya, misalnya pada kalimat berikut.
- Di dalam pesawat itu, banyak anak SD.
- Budi yang mencurinya.
Subjek dapat dicari dengan pertanyaan apa/siapa yang dibicarakan. Jika apa/siapa yang dibicarakan ditanyakan pada kalimat (1) di atas, kemungkinan jawabannya di dalam pesawat. Namun, apakah benar di dalam pesawat merupakan subjek? Pada frasa di dalam pesawat terdapat preposisi di. Dalam TBBBI, preposisi tersebut menjadi penanda hubungan tempat sehingga berfungsi sebagai keterangan yang menerangkan fungsi lainnya. Oleh karena itu, di dalam pesawat tidak menjadi subjek utama, tetapi bisa menjadi keterangan subjek. Hal itu juga diperkuat oleh penjelasan dalam buku Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat (2014) bahwa subjek tidak dapat didahului kata depan atau preposisi.
Kemudian, kita dapat menanyakan kembali, siapa (yang ada) di dalam pesawat? Jawabannya anak SD sehingga frasa anak SD menduduki subjek. Lalu, apakah kata banyak tidak menjadi perluasan subjek?
Salah satu ciri frasa adalah kata-kata yang tergabung di dalamnya tidak bisa dibolak-balik karena maknanya akan berbeda. Selain itu, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), frasa adalah satuan gramatikal yang nonpredikatif. Jika kita selisik lagi, kata banyak pada kalimat tersebut predikatif karena menandai subjek. Selain itu, kata banyak dan frasa anak SD dapat di bolak-balik sehingga banyak dan anak SD bukanlah satu frasa.
Dari penjelasan di atas, kata banyak berpotensi menjadi predikat karena kata tersebut membantu menjelaskan situasi subjek. Selain itu, kata banyak dapat dinegasikan oleh kata tidak menjadi tidak banyak. Dengan begitu, dapat disimpulkan, kata banyak pada teks di atas berfungsi sebagai predikat.
Pada kalimat (2), jika dianalisis dengan menanyakan apa/siapa yang dibicarakan, kemungkinan ada yang menjawab Budi. Namun, apakah benar Budi subjek kalimat (2)? Selain itu, sekilas kalimat ini seperti tidak memiliki predikat karena Budi yang diduga sebagai subjek mengalami perluasan oleh partikel yang. Namun, di sisi lain, jika kalimat (2) hanya memiliki subjek, mengapa kalimat tersebut terasa terterima maknanya? Maka, apakah kalimat ini kalimat inversi atau kalimat tidak lengkap?
Jika diselisik, klitik -nya merujuk pada suatu hal yang hilang. Misalkan yang hilang adalah emas, lalu diberikan pertanyaan apa/siapa yang dibahas, jawabannya adalah yang mencuri emas. Jadi, frasa yang mencurinya adalah subjek, sedangkan Budi merupakan predikat karena menyatakan jati diri subjek. Namun, cara paling mudah bagi saya untuk melihat apakah kalimat ini merupakan kalimat inversi adalah dengan membolak-baliknya tanpa mengubah makna dan fungsinya, yaitu Yang mencurinya (adalah) Budi. Kalimat tersebut sama dengan Dia (adalah) seorang guru. Kedua kalimat tersebut dapat disisipi kata adalah sebagai verba kopula dan bermakna ‘termasuk dalam kelompok atau golongan’ sehingga berpotensi sebagai predikat.
Rujukan:
- KBBI Daring. (2016). Entri “kamus”. Diakses pada 9 November 2024. kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kamus
- Moeliono, Anton M., dkk. (2017). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
- Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. (2014). Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Penyunting: Rifka Az-zahra
5 komentar
Mohon maaf, Kak. Saya melihat penggunaan kata “Maka” di awal paragraf ke lima, padahal beberapa waktu lalu saya mendapati artikel yang menyatakan bahawa kata “Maka” termasuk kata–konjungsi–yang tidak boleh diletakan di awal kalimat. Mohon penjelasannya, Kak. Terima kasih.
Halo, Kak Dadan!
Terima kasih atas koreksinya, kak. Benar, kalimat (5) terdapat kesalahan dalam penggunaan konjungsi. Konjungsi _maka_ adalah konjungsi subordinatif yang menyatakan _hasil_ sehingga tidak tepat diletakkan untuk menyatakan hubungan antarkalimat. Konjungsi yang seharusnya digunakan adalah _kemudian_.
Semoga nanti bisa disunting ya, Kak :)
🙏
Terima kasih kembali, Kak.
Sudah Nara sunting kembali, ya. Terima kasih. 🫶🏻
Halo, Kerabat Nara.
Terima kasih sudah bantu mengoreksi, ya. 😊