Perjalanan Panjang Pronomina “Saya”

oleh Johanes Irsan
Ilustrasi Perjalanan Panjang Pronomina “Saya”

Setiap bahasa mempunyai kata yang dapat digunakan penuturnya untuk merujuk kepada diri sendiri.  Kata demikian disebut pronomina orang pertama tunggal atau pronomina 1SG (first person singular). Bahasa Inggris hanya memiliki satu pronomina 1SG, yaitu I, sedangkan bahasa Indonesia memiliki beberapa pronomina 1SG. Namun, yang paling umum adalah saya

Pada masa kini, sepertinya kata saya cenderung menempati kedudukan paling utama sebagai pronomina 1SG bahasa Indonesia. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat, pada pembahasan pronomina 1SG, saya disebutkan dan dijelaskan paling pertama mendahului aku.

Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam pengajaran kepada penutur asing. Dalam bahan-bahan ajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) seperti Sahabatku Indonesia dan Lentera Bahasa, saya-lah yang pertama kali diperkenalkan sebagai pronomina 1SG. Hal itu cukup masuk akal dari segi kesopanan, mengingat bahwa saya adalah pilihan teraman untuk dipakai dalam banyak situasi, terutama apabila pembicara belum begitu mengenal lawan bicara supaya pembicara tidak menyinggung perasaan lawan bicara. Mungkin, karenanya, saya juga menjadi pilihan dalam situasi resmi, misalnya pidato. Dengan kata lain, saya dianggap lebih halus daripada aku yang lebih aman digunakan ketika pembicara sudah akrab dengan lawan bicaranya. Konotasi halus dari saya ini tidak terlepas dari konteks sejarah yang melekat padanya sehingga ada baiknya ditelusuri lebih jauh.

Menurut KBBI, saya berasal dari bahasa yang sama sekali tidak berkerabat dengan bahasa Indonesia (yang berumpun Austronesia), yakni bahasa Sanskerta (yang berumpun Indo-Eropa). Justru, aku-lah yang bisa dikatakan sebagai kata murni bahasa Indonesia, atau setidaknya berakar dari rumpun Austronesia, yang ditunjukkan oleh berkerabatnya aku dengan kata bermakna sama dalam berbagai bahasa rumpun Austronesia lainnya, yang tersebar dari Taiwan hingga Malagasi dan Hawaii.

Kata saya berasal dari kata sahāya (सहाय) yang berarti ‘pembantu, pengikut, pelayan, pendamping, teman, asisten’. KBBI juga mencatat kata yang sama bentuknya dengan sahāya, yaitu sahaya, yang memiliki dua arti, yakni ‘abdi, budak, hamba’ dan ‘saya’. Arti kedua dari sahaya tersebut secara gamblang memperlihatkan bahwa saya dan sahaya saling berhubungan.

Hubungan antara saya dan sahaya diperjelas pada Kamus Modern Bahasa Indonesia susunan Zain (1951) bahwa saya adalah pemendekan dari sahaya. Klaim serupa juga tertulis dalam kamus-kamus bahasa Melayu (benih dari bahasa Indonesia) susunan Klinkert (1910), Mayer (1906), Wilkinson (1901), dan Pijnappel (1875). Wilkinson menambahkan bahwa pemendekan ini biasanya dilakukan dalam ragam percakapan. Makna saya sebagai ‘hamba’ ditemukan dalam kamus susunan Iken dan Harahap (1940) dan Shellabear (1912). Akan tetapi, dalam dokumentasi teks yang tersedia pada situs web MCP (Malay Concordance Project), saya selalu digunakan sebagai pronomina 1SG. 

Dalam dokumentasi tersebut, penggunaan tertua yang dapat dilacak dari kata saya sebagai pronomina 1SG ditemukan dalam Syair Hamzah Fansuri dan Hikayat Pandawa Lima yang kemungkinan ditulis pada abad ke-16. Pada abad berikutnya, kamus Melayu-Belanda susunan Wiltens dkk. (1650) mengamini penggunaan tersebut. Selain itu, buku tata bahasa Melayu susunan Roman (1689) memperjelas penggunaannya, yakni dipakai oleh orang berkedudukan lebih rendah terhadap orang yang berkedudukan lebih tinggi untuk merendahkan diri.

Sementara itu, sahaya lebih lazim digunakan sebagai ‘hamba’ pada teks yang lebih lampau, seperti dalam Hikayat Bayan Budiman yang kemungkinan ditulis pada abad ke-14. Namun, penggunaannya sebagai pronomina 1SG bertambah secara signifikan pada abad ke-19, terutama dalam syair. 

Sayangnya, MCP hanya mendokumentasikan teks dari abad ke-14 ke atas. Padahal, prasasti tertua berbahasa Sanskerta yang ditemukan di Indonesia diperkirakan ditulis sekitar abad ke-5 yang membuka kemungkinan sudah adanya kontak antara kata sahaya dengan bahasa Melayu saat itu.  Kata sahaya ditemukan (sebagai sahayanda) dalam Prasasti Gandasuli yang berbahasa Melayu Kuno dan kemungkinan ditulis pada abad ke-9 dengan arti ‘hamba’ yang menandakan sudah diserapnya sahaya ke dalam bahasa Melayu pada periode tersebut. Sementara itu, pronomina 1SG yang dipakai pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno di periode tersebut hanyalah aku, misalnya pada Prasasti Talang Tuwo, Kota Kapur, dan Karang Berahi yang diperkirakan berasal dari abad ke-7.

Akhirulkalam, kata saya sudah melalui proses sejarah yang panjang. Belasan abad yang lalu, pada masa kerajaan Hindu-Buddha, kata sahaya dengan arti ‘hamba’ sudah diserap dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Melayu, yang kemudian juga dipakai sebagai pronomina 1SG bagi orang berkedudukan rendah untuk merendahkan diri. Pada suatu masa, sahaya sebagai pronomina 1SG mengalami pemendekan menjadi saya dalam percakapan dan seiring berjalannya waktu kini penggunaannya meluas sehingga dapat dipakai oleh kalangan mana pun dan menempati posisinya yang sekarang. Meskipun sudah mengalami banyak perubahan, konotasi halus saya tetap bertahan sebagai warisan dari makna dan penggunaannya sejak dahulu. 

Rujukan:

  • Australian National University. Malay Concordance Project. Diakses pada 25 November 2024. https://mcp.anu.edu.au/Q/mcp.html.
  • Basaina, S. (2010). “Perkembangan Pengaruh Kata-Kata Sanskerta dalam Prasasti-Prasasti Berbahasa Melayu Kuna di Sumatra pada Abad ke-7 hingga ke 10 Masehi.” https://lib.ui.ac.id/detail?id=20160831&lokasi=lokal.
  • Blust, R., dkk. ACD – Austronesian Comparative Dictionary Online – Cognateset *aku. Diakses pada 23 November 2024. https://acd.clld.org/cognatesets/24792#3/-7.98/153.41.
  • Blust, R., dan Trussel, S. ACD – Austronesian Comparative Dictionary – Cognate Sets – a. Diakses pada 23 November 2024. https://www.trussel2.com/ACD/acd-s_a1.htm.
  • Casparis, J.G. (1950). Prasasti Indonesia I. Bandung: Djawatan Purbakala Republik Indonesia.
  • Iken, D., dan Harahap, E. (1940). Kitab Arti Logat Melajoe – Tjetakan Keenam Kali. Bandung: N.V. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co.
  • Kartakusuma, R. (1999). “Persebaran Prasasti-Prasasti Berbahasa Malayu Kuna di Pulau Jawa.” Berkala Arkeologi, 19(2), 39–67. https://doi.org/10.30883/jba.v19i2.822.
  • KBBI VI Daring. (2016). Entri “saya”. Diakses pada 23 November 2024. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/saya.
  • Klinkert, H.C. (1910). Nieuw Maleisch-Nederlandsch Zakwoordenboek. Leiden: E.J. Brill.
  • Novianti, N., dan Nurlaelawati, I. (2016). Sahabatku Indonesia Tingkat A1. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Mayani, L.A., dkk. (2004) Lentera Indonesia: Penerang untuk Memahami Masyarakat dan Budaya Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
  • Mayer, L.Th. (1906). Practisch Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-Maleisch Handwoordenboek. Amsterdam: Scheltema & Holkema’s Boekhandel.
  • Moeliono, A.M., dkk. (2017). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Pijnappel, J. (1875). Maleisch-Hollandsch Woordenboek. Haarlem: J. Enschedé en Zonen.
  • Roman, J. (1689). Grondt ofte Kort Bericht, van de Maleysche Tale. Amsterdam: Verenigde Oost-Indische Compagnie.
  • Shellabear, W.G. (1912). Malay-English Vocabulary (Second Edition). Singapura: The Methodist Publishing House.
  • Sumantri, Y.K. Rangkuman Perkuliahan. Sejarah Indonesia Kuno. Diakses pada 25 November 2024. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197706022003122-YENI_KURNIAWATI_SUMANTRI/Bahan_ajar_SIK.pdf.
  • Wilkinson, R.J. (1901). A Malay-English Dictionary. Singapura: Kelly & Walsh Limited.
  • Wiltens, C., dkk. (1650). Vocabularium, ofte Woorden-Boeck: nae ordre van den Alphabeth in’t Duytsch en Maleys. Amsterdam: Verenigde Oost-Indische Compagnie.
  • Zain, S.M. (1951). Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafica Djakarta.

 

Penyunting: Rifka Az-zahra

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar