Setahun lalu, ketika berkeliling Kota Malang, saya menyempatkan berkunjung ke salah satu toko buku di Jalan Dieng. Saya hendak melihat-lihat berbagai buku sejarah dan membeli satu kalau ada yang cocok. Setelah mendapatkannya, saya mampir ke rak buku kebahasaan. Sebagai pegawai Narabahasa, rasanya tidak afdal jika saya tidak sowan ke bagian itu. Di sanalah saya pertama kali melihat buku berwarna kuning dengan judul Sintaksis Bahasa Indonesia: Pelesapan Subjek. Kemudian, saya membaca ringkasan pengantar (blurb) pada sampul belakangnya. “Wah, menarik. Lain kali akan saya beli dan baca,” ucap saya dalam hati. Lalu, beberapa bulan sesudah itu, saya kembali ke sana untuk membawanya pulang.

Sebagaimana tecermin pada judulnya, buku yang ditulis oleh Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa tahun 2000–2009) itu mengupas ketidakhadiran subjek dalam klausa atau kalimat bahasa Indonesia. Sang penulis hendak menjelaskan apakah hal tersebut merupakan penyimpangan kaidah atau justru wujud keteraturan berbahasa. Saya pikir, topik bahasan itu sangat asyik untuk didalami. Sebabnya, kita mungkin pernah menjumpai atau bahkan menyadari keberadaan pelesapan subjek, tetapi kita belum menerima penjelasan komprehensifnya. 

Penjelasan itu terejawantah dalam buku yang mulanya merupakan naskah disertasi ini. Ada delapan bab di sini, yakni (1) “Pendahuluan”, (2) “Ihwal Telaah dan Teori Pelesapan Subjek”, (3) “Ihwal Subjek dalam Struktur Sintaktik”, (4) “Klausa dan Wacana”, (5) “Pelesapan Subjek dalam Konstruksi Koordinatif”, (6) “Pelesapan Subjek dalam Konstruksi Subordinatif”, (7) “Pelesapan Subjek dalam Wacana”, dan (8) “Penutup”.

Sugono memulai “Pendahuluan” dengan menjabarkan perkembangan analisis wacana. Menurutnya, perkembangan bidang tersebut menemukan bentuk dan arahnya pada 1970-an. Sementara itu, analisis wacana dalam bahasa Indonesia baru mendapat perhatian setelah 1980-an.

Lantas, barangkali kita bertanya, apa hubungannya dengan pelesapan subjek? Ternyata, pelesapan subjek berkaitan dengan salah satu subbahasan wacana, yaitu kohesi. “…, kohesi itu dapat diwujudkan, antara lain, melalui (a) pelesapan (deletion), (b) pemakaian pronomina, (c) penyulihan, (d) penyebutan ulang, dan (e) pemakaian konjungsi …,” tulis Sugono. Pelesapan itu sendiri biasa dilambangkan dengan sifar (∅).

Pada bab selanjutnya, “Ihwal Telaah dan Teori Pelesapan Subjek”, penulis yang lahir di Banyuwangi tahun 1949 itu membahas penelitian terdahulu, teori pelesapan subjek, serta sumber dan analisis data. Salah satu hal yang saya garis bawahi dari bab ini ialah pelesapan tidak terjadi pada kalimat tunggal karena tidak memenuhi syarat keterpulangan—sebuah syarat yang diajukan oleh Noam Chomsky. Oleh karena itu, tidak heran bahwa yang dibahas pada bab mendatang ialah pelesapan dalam kalimat koordinatif, subordinatif, dan wacana.

Dalam bab ketiga, “Ihwal Subjek dalam Struktur Sintaktik”, paparan Sugono berfokus pada kesubjekan, peran semantis subjek, pengisi fungsi subjek, dan ketakrifan subjek. Setidaknya, ada tiga hal yang saya pelajari dari bab ini. Pertama, terdapat sebelas jenis subjek berdasarkan peran semantisnya, yaitu pelaku, sasaran, pemanfaat, terproses (processed), pemosisi (positioner), daya (force), alat, sebutan (item), tempuhan, tempat, dan waktu. Kedua, subjek dapat berdiri di kanan predikat. Kemudian, yang ketiga, subjek dapat berupa frasa berpreposisi, seperti ke Jakarta dalam kalimat Ke Jakarta tidak mudah kalau saatnya liburan anak sekolah dan dari rumah saya dalam Dari rumah saya hanya lima menit jalan kaki.

Karena keluasan uraiannya dalam pembahasan subjek, saya pikir bab ketiga itu dapat dijadikan rujukan yang cukup memadai bagi siapa pun yang tertarik mendalami subjek. Ia melengkapi penjelasan mengenai subjek yang terdapat dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Selanjutnya, bab keempat dengan judul “Klausa dan Wacana” menjadi jembatan menuju uraian yang lebih spesifik pada tiga bab setelahnya. Pada bab ini, Sugono menjelaskan konsep dan jenis klausa serta wacana. Yang menarik, dalam pembahasan mengenai klausa subordinatif, Sugono menyebut di mana sebagai salah satu konjungsi tipe B, yakni konjungsi yang tidak memberi peluang pelesapan subjek. Padahal, sejauh yang saya tahu, di mana kerap tidak diakui sebagai konjungsi. Ia hanya dianggap sebagai bentuk yang terpengaruh dari konstruksi kalimat dalam bahasa Inggris.

Dua bab kemudian—bab kelima dan keenam—memuat cakupan analisis yang mirip, yaitu urutan dan jumlah klausa, hubungan koreferensi, serta konstituen pengendali dan terkendali dalam pelesapan subjek. Perbedaannya, bab kelima berfokus pada konstruksi koordinatif, sedangkan bab keenam pada konstruksi subordinatif. Sementara itu, bab ketujuh—yang membahas pelesapan subjek pada wacana—menguraikan konstituen pengendali dan terkendali saja.

Ketiga bab tersebut adalah inti dari buku yang diterbitkan pada 2019 oleh Gramedia Pustaka Utama ini. Jawaban atas kondisi apa saja yang memungkinkan terjadinya pelesapan subjek ada di situ. 

Akhirnya, pembahasan yang amat panjang pada tujuh bab di atas bermuara pada bab “Penutup” yang berisi simpulan dan saran. Salah satu poin simpulan yang saya soroti ialah pelesapan subjek pada konstruksi koordinatif dan wacana hanya bersifat anafora, sedangkan dalam konstruksi subordinatif, pelesapan subjek dapat bersifat anafora dan katafora. Sementara itu, saran yang ditekankan oleh penulis buku ini ialah penelitian lanjutan mengenai pelesapan subjek yang terdapat dalam ragam lisan. “Jika penelitian itu dapat dilakukan, akan terungkap berbagai kendala pemakaian bahasa Indonesia, terutama ragam bahasa lisan mengingat ragam bahasa ini selalu dianaktirikan dalam penanganannya,” pungkas Sugono pada halaman ke-225. 

Ada dua kelebihan utama yang terdapat pada buku ini. Pertama, sumber data yang digunakan tidak hanya berasal dari majalah (laras jurnalistik), tetapi juga dari novel (laras sastra), seperti Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis dan Tuyet karya Bur Rasuanto. Hal itu menandakan bahwa pelesapan subjek juga terjadi pada tulisan yang tata bahasanya amat luwes. Kedua, buku ini tidak hanya menjelaskan konsep dan contoh pelesapan subjek, tetapi juga merumuskannya. Keberadaan rumus itu mengartikan bahwa pelesapan subjek merupakan wujud keteraturan berbahasa.

Meskipun demikian, di mana ada kelebihan, selalu ada kekurangan. Begitu pula pada buku ini. Masih ada salah tik pada beberapa bagian, seperti katatoris yang seharusnya kataforis (halaman ke-173). Selain itu, ada kalimat yang hanya berupa keterangan, yaitu “Karena acuannya bisa ke Zaitun di samping Buyung.” Padahal, jika kata karena itu dibuang atau disambungkan dengan kalimat sebelumnya, kalimat tersebut akan menjadi utuh.

Di samping itu, saya pikir, kekurangan—atau tantangan—yang paling terasa ialah bahasa yang agak sulit untuk dipahami. Mungkin itu disebabkan oleh banyaknya istilah linguistik yang digunakan. Kemudian, ada pula pemakaian keterangan penyerta yang membuat pembacaan harus dilakukan dua kali. Contohnya kalimat “Pertanyaan yang timbul adalah apakah setiap FN dalam klausa subordinatif yang memiliki referen yang sama dengan FN dalam klausa utama dapat dilesapkan?” pada halaman ke-175. Perhatikan kata-kata yang dimiringkan itu.

Namun, saya paham bahwa buku ini tergolong dalam laras ilmiah sehingga banyak istilah tertentu dan kalimatnya panjang. Hal tersebut kemudian membuat saya bertanya-tanya: Dapatkah bahasan tingkat disertasi seperti ini disampaikan dengan gaya bahasa populer ketika diformat sebagai sebuah buku? Rasanya cukup sayang bahwa ilmu yang sedemikian menarik dan bermanfaat ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan akademisi.

Terlepas dari itu, buku ini benar-benar bernas. Ia membuat saya menyadari bahwa bangsa kita sering melesapkan berbagai hal. Sesuatu bisa lesap atau hilang begitu saja tanpa kita hiraukan. Kita ternyata telah terbiasa kehilangan.

#pelesapan #subjek #sintaksis

Penulis: Harrits Rizqi

Penyunting: Ivan Lanin