Arah hidup seseorang dapat berubah karena sebuah buku. Itulah yang saya alami setelah membaca buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (2008).
Sebelum bercerita tentang berubahnya arah hidup saya karena buku itu, saya ingin berkisah sedikit tentang pertemuan saya dengan buku tersebut. Saya menemukannya di kamar indekos penyair Heru Joni Putra di Padang pada 2015. Setelah membaca beberapa esai di dalamnya, saya langsung menyukainya. Saya kemudian meminjamnya kepada Heru dan tidak mengembalikannya. Untuk mengganti buku itu, saya mengajak Heru ke Gramedia Padang dan membelikannya satu buku yang ia sukai.
Memahami Logika Bahasa
Buku itu berisi 67 esai bahasa yang terbit di majalah Tempo. Penulisnya berasal dari berbagai kalangan, misalnya linguis (Bambang Kaswanti Purwo, Harimurti Kridalaksana, Jos D. Parera, dan Soenjono Dardjowidjojo), wartawan (seperti Agung Y. Achmad, Amarzan Loebis, Qaris Tajudin, dan Syu’bah Asa), serta sastrawan (antara lain Goenawan Mohamad, Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Sapardi Djoko Damono). Mereka membahas, antara lain, logika bahasa, tata kalimat, pembentukan kata, makna kata, kiasan dan ungkapan, pengaruh kebudayaan terhadap bahasa, dan kamus.
Dari tiap tema itu, ada beberapa esai yang menarik perhatian dan menyadarkan saya bahwa banyak kesalahan pada tulisan saya selama ini. Dalam tema logika bahasa, misalnya, ada esai “Logika!” yang ditulis oleh Hasto Pratikto. Ia membahas logika dalam kalimat di media massa, salah satunya Para tamu dihidangkan nasi kebuli dan aneka minuman tradisional. Ia bertanya secara retorik kenapa penulis berita itu tidak menulis Para tamu dihidangi nasi kebuli atau Kepada para tamu, dihidangkan nasi kebuli. Menurutnya, kesalahan berbahasa seperti itu bukan sekadar kesalahan pilihan kata, melainkan kesalahan logika yang serius. Ia mengatakan bahwa akhiran –i dan –kan dalam konteks kalimat tersebut membentuk makna yang justru berlawanan (sehingga tak bisa dipertukarkan) yang mudah dirasakan oleh pengguna bahasa yang berpikir.
Hal yang dibahas Pratikto dalam esai itu ialah penggunaan kata kerja berakhiran –i dan –kan dalam kalimat inversi (kalimat susun balik). Kata dihidangkan dan dihidangi dalam kalimat dapat membuat orang tergelincir dalam berbahasa jika tidak cermat menggunakannya. Jika ditulis Para tamu dihidangkan nasi kebuli, secara sintaksis kalimat itu berarti ‘para tamu dihidangkan kepada nasi kebuli’ walaupun tidak ada konteks yang membuat manusia dihidangkan kepada benda mati (nasi kebuli). Pasalnya, nasi kebuli tidak memakan manusia.
Persoalannya ialah ada kata dihidangi di samping dihidangkan, sebagaimana ada kata disuguhi di samping disuguhkan. Dihidangi artinya ‘diberi hidangan’. Maka, kalimat menjadi benar jika ditulis Para tamu dihidangi nasi kebuli. Artinya, ‘para tamu diberi hidangan nasi kebuli’.
Persoalan penggunaan kata kerja berakhiran –i dan –kan sering membuat orang salah menulis jika digunakan dalam bentuk pasif karena perbedaannya seakan-akan tidak terlihat, terutama bagi orang yang tidak cermat dalam logika bahasa. Dalam bentuk aktif, kata kerja berakhiran –i dan –kan agaknya cukup mudah diketahui perbedaan makna dan konstruksinya dalam kalimat. Barangkali orang tidak ragu membuat kalimat Tuan rumah menghidangkan nasi kebuli kepada para tamu atau Tuan rumah menghidangi para tamu nasi kebuli. Jika Anda masih sulit membedakan kata kerja berakhiran –i dan –kan dalam bentuk aktif, logika bahasa Anda memang perlu diasah.
Sementara itu, kata kerja berakhiran –i dan –kan dalam bentuk pasif tidak kentara terlihat perbedaan makna dan penggunaannya dalam kalimat. Karena itu, orang bisa tergelincir menulis Para tamu dihidangkan nasi kebuli lantaran tidak melihat perbedaan makna gramatikal akhiran –i dan –kan dalam kata kerja dihidangkan.
Tentang tata kalimat, Kurnia J.R. menulis esai “Salah Tempat”. Ia membahas kata sifat yang ditempatkan secara salah dalam tulisan, misalnya operasional dalam kalimat Dana itu untuk menunjang operasional perusahaan. Dalam frasa operasional perusahaan, kata operasional dijadikan kata benda. Padahal, kata sifat, seperti operasional, berfungsi menerangkan kata benda. Sayangnya, ia tidak memberikan contoh yang benar penggunaan kata operasional itu.
Agar kata operasional dapat dipakai dalam kalimat tersebut, di depannya perlu diberi kata biaya sehingga menjadi biaya operasional. Dalam frasa itu, operasional sebagai kata sifat menerangkan biaya sebagai kata benda. Jika kata benda sebelum operasional tidak ditulis, berita tersebut kekurangan informasi karena tidak jelas apa yang diterangkan oleh kata operasional dan memunculkan pertanyaan: Apa yang operasional? Berita yang kekurangan informasi jelas tidak bagus.
Kiasan, Ungkapan, dan Pengaruh Kebudayaan terhadap Bahasa
Dalam esai itu, Kurnia juga menyorot pemakaian kata banyak yang tidak pada tempatnya, seperti dalam kalimat Sang guru banyak mendapatkan pujian dan Aktris ini banyak diburu wartawan. Menurutnya, banyak sebagai kata sifat yang merujuk kepada kuantitas seharusnya diletakkan di depan kata benda sehingga kedua kalimat itu menjadi Sang guru mendapatkan banyak pujian dan Aktris ini diburu banyak wartawan.
Kurnia benar. Jika ditulis Sang guru banyak mendapatkan pujian, apa yang dimaksud dengan banyak? Yang banyak dalam kalimat itu bukanlah sang guru dan bukan pula mendapatkan, melainkan pujian. Yang bisa dihitung oleh kata banyak ialah kata benda, termasuk kata benda abstrak, seperti pujian. Sementara itu, kata kerja, misalnya mendapatkan, tidak bisa dihitung. Kata kerja seperti itu dapat didahului oleh kata sifat lain, misalnya sering, sehingga kalimat menjadi berterima: Sang guru sering mendapatkan pujian.
Pada tema kiasan dan ungkapan dalam buku tersebut, ada dua esai yang menarik perhatian saya, yaitu “Buah Hati Simalakama” yang ditulis oleh Amarzan Loebis dan “Fauna Bahasa” oleh Hasif Amini. Loebis membahas kiasan dari kata buah, seperti buah bibir, buah mulut, buah betis, buah lengan, buah dada, buah pinggang, buah perut, buah mata, buah hati, dan buah pena. Sementara itu, Amini membahas kiasan dan ungkapan dari dunia binatang, misalnya binatang politik, membebek, membeo, kuda hitam, kambing hitam, jinak-jinak merpati, malu-malu kucing, akal bulus, otak udang, kutu buku, macan kertas, kupu-kupu malam, ayam kampus, dan serigala berbulu domba.
Pada tema pengaruh kebudayaan terhadap bahasa, ada esai bagus yang ditulis Qaris Tajudin: “Muzik Indon, Keren Banget!” Dalam esai itu, ia membahas “masuknya” kata-kata gaul bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu Malaysia melalui produk budaya, seperti film dan musik. Ia melihat bahwa ditayangkannya sejumlah film remaja Indonesia di Malaysia membuat anak-anak muda di sana dengan fasih mengucapkan kata-kata gaul, seperti lo, gue, keren, ngetop, dan ngobrol. Kata-kata gaul lain yang ia perhatikan masuk ke Malaysia, antara lain, ngobrol, banget, bego, dan goblok. Sebuah program radio di Kuala Lumpur bahkan diberi nama Carta Baik Banget karena terinspirasi dari Krisdayanti yang sering menggunakan kata banget saat memuji sesuatu, misalnya keren banget.
Berdasarkan amatan Qaris Tajudin, masuknya kata-kata seperti itu ke Malaysia juga dipengaruhi oleh lagu musisi dan grup musik Indonesia, misalnya Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Rossa, Melly Goeslaw, Sheila on 7, Gigi, Dewa, Cokelat, dan Peterpan. Lagu-lagu dari penyanyi dan grup musik itu berjaya di negeri jiran.
Masih pada tema pengaruh kebudayaan terhadap bahasa, Amini menulis esai “Setelah Perang dan Sandiwara”tentang metafora Dunia adalah medan perang yang menurutnya telah meresap ke dalam cara berpikir dan berbahasa kita. Ia mengatakan bahwa metafora itu mendorong digunakannya kata-kata taktik, strategi, manuver, serangan balik, benteng, pertahanan, merebut, menguasai, menaklukkan, dan sebagainya dalam komentar atau berita pertandingan sepak bola dan catur. Di dunia kesenian atau penerbitan, ia melihat kata gerilya dipakai untuk menyebut seseorang atau kelompok yang mengadakan berbagai kegiatan di luar jalur resmi. Selain itu, ada ungkapan lama Senjata makan tuan.
Pilihan metafora, kata Amini, bisa menentukan cara kita melihat dan memperlakukan hal ihwal dunia. Karena itu, menurutnya, kita perlu bertanya lagi: Jika kita diam-diam gemar menggunakan berbagai turunan metafora Dunia adalah medan perang, apakah itu berarti suara bawah sadar kita cenderung memilih sikap berseteru ketimbang berdamai? Katanya lagi, bisa jadi, metafora digunakan sebagai bentuk sublimasi, yaitu bahwa kita menggunakan metafora bermuatan kekerasan justru untuk menyalurkan dorongan-dorongan brutal ke dalam bentuk verbal sehingga tak menjelma menjadi tindakan.
Berhati-hati dalam Berbahasa
Setelah membaca buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo, saya menjadi awas dalam membaca dan menulis. Jika membaca tulisan orang lain dan menulis berita, saya memperhatikan secara saksama, antara lain, logika bahasa, kalimat, pilihan kata, dan tanda baca yang digunakan. Saya memperhatikan semua itu untuk menemukan kesalahan dalam tulisan orang dan menghindari kesalahan dalam tulisan saya. Saya melakukan itu untuk mengasah logika bahasa dan meningkatkan kemampuan saya dalam menulis.
Sejak membaca buku itu, pandangan saya terhadap bahasa tidak lagi sama seperti sebelumnya: yang penting orang paham. Berbahasa ternyata bukan sekadar yang penting orang paham, melainkan juga cerminan pikiran kita. Jika pikiran kita ruwet, bahasa yang kita produksi juga ruwet sehingga apa yang kita anggap yang penting orang paham itu belum tentu dipahami oleh (semua) orang.
Selain itu, buku tersebut menarik bagi saya karena ternyata persoalan (ber)bahasa dapat ditulis menjadi bacaan populer yang asyik, cukup ringan, dan menarik. Sebelumnya, saya hanya tahu bahwa tulisan tentang bahasa itu berat dan tidak menarik sebagaimana yang terdapat dalam buku-buku kuliah dan karya-karya ilmiah sehingga tidak menimbulkan minat untuk mempelajarinya. Dengan begitu, esai-esai di dalam buku tersebut bisa menjadi bacaan umum, bukan khusus untuk kalangan orang yang berlatar pendidikan bahasa dan sastra.
Selain menyajikan masalah-masalah (ber)bahasa yang tidak berat, esai-esai dalam buku tersebut ditulis dengan gaya yang lentur atau populer, tidak kaku seperti artikel bahasa di sejumlah jurnal atau buku linguistik. Hasif Amini dan Nirwan Dewanto bahkan menulis esai dalam format dialog antara dua orang (lihat esai “Anomali dan Fantasi Bahasa” dan “Mata Sang Hari”). Dalam esai, yang penting memanglah pesan (informasi, data, dan sebagainya) dapat dibalut dengan berbagai format tulisan nonfiksi, termasuk format eksperimental. Para linguis yang menulis di sana pun menggunakan kata-kata umum dan menghindari istilah-istilah linguistik yang sangat teknis karena tahu benar bahwa esai yang mereka tulis akan dibaca oleh orang umum.
Setelah tahu bahwa esai-esai dalam buku itu terbit di majalah Tempo, saya selalu mencari rubrik “Bahasa!” setiap kali membaca majalah Tempo. Sebelumnya, saya tidak menyadari bahwa di majalah itu ada rubrik bahasa. Saya hanya ingat bahwa di Tempo ada rubrik “Catatan Pinggir” oleh Goenawan Mohamad.
Masuk Lebih Dalam ke Dunia Bahasa
Menemukan buku itu merupakan pintu bagi saya masuk lebih dalam ke dunia bahasa. Saya lalu menemukan blog yang memuat esai bahasa yang terbit di berbagai media massa, seperti Kompas, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, dan majalah Tempo. Blog tersebut, Rubrikbahasa.wordpress.com, berisi seribu lebih esai bahasa dan dikelola oleh pencinta bahasa bernama Ivan Lanin. Dari sana, saya tahu bahwa ada beberapa media massa yang memiliki rubrik khusus bahasa yang terbit tiap pekan. Media-media tersebut menerima tulisan dari penulis luar redaksi dan memberikan honorarium kepada penulis. Saya senang mengetahui adanya wadah khusus yang menampung esai bahasa sekaligussenang sebab ada honorarium.
Sejak selesai membaca buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo, saya memang berencana menulis esai bahasa lantaran resah terhadap kacau balaunya pemakaian bahasa di media massa. Keresahan itu muncul setelah saya memiliki sedikit pengetahuan karena membaca buku tersebut. Keresahan itu bahkan muncul makin sering setelah saya membaca banyak esai di Rubrikbahasa.wordpress.com yang membahas persoalan (ber)bahasa di media. Saya lalu menuliskan keresahan itu menjadi esai-esai bahasa dan menerbitkannya di Haluan, media tempat saya bekerja.
Saya terus mempelajari hal ihwal bahasa secara autodidaktik dengan membaca esai-esai bahasa di media dan buku-buku linguistik. Namun, makin lama saya makin merasa bahwa itu tidak cukup untuk menambah pengetahuan saya tentang linguistik. Karena itu, saya memutuskan untuk kuliah pada Program Studi Magister Linguistik di Universitas Andalas pada pertengahan 2017.
Makin besarnya perhatian saya terhadap dunia bahasa, termasuk bahasa jurnalistik, diketahui oleh atasan saya di Haluan, yaitu Pemimpin Umum Haluan, Zul Efendi. Pada 4 Juni 2018, ia mengamanahkan jabatan redaktur bahasa kepada saya. Sambil mengerjakan tugas-tugas sebagai redaktur bahasa, seperti memberikan pelatihan bahasa jurnalistik kepada reporter dan mengoreksi bahasa di tiap rubrik, saya terus menulis esai bahasa di media.
Barangkali karena saya sering menulis esai bahasa, Eko Endarmoko, petesaurus yang terkenal itu, menawari saya untuk menjadi kolumnis bahasa di Beritagar.id sebagai pengganti dirinya. Katanya, tugas saya ialah menulis esai bahasa sekali sepekan di portal berita itu. Saya menerima tawaran tersebut karena saya merasa tugas itu tidak terlalu sulit dan honorariumnya layak. Maka, saya mulai menulis esai bahasa di media itu pada 6 Oktober 2018.
Di samping sudah jenuh bekerja di Haluan (bekerja sejak 2013) dan ingin fokus menjadi kolumnis di Beritagar.id, saya keluar dari Haluan pada November 2018. Selama bekerja di Beritagar.id hingga 12 Oktober 2019, saya menulis 53 esai bahasa. Saya memasukkan sebagian dari esai-esai itu ke dalam buku kumpulan esai bahasa saya: Pendekar Bahasa (2019) dan Perca-Perca Bahasa (2021).
Pemfokusan saya terhadap dunia bahasa, terutama menulis esai bahasa, bermuara pada banyak hal yang juga berhubungan dengan dunia bahasa, misalnya diundang sebagai pembicara pada pelatihan menulis esai, pelatihan menyunting naskah, dan diskusi bahasa; diminta menjadi editor sejumlah naskah buku; serta diundang sebagai juri lomba menulis esai dan penilaian penghargaan bahasa bagi media massa. Terakhir, tidak lama setelah wisuda magister pada Desember 2021, saya diajak bergabung dengan redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai editor dan mulai bekerja pada Februari 2022.
Semua kegiatan saya dalam bidang bahasa itu, kalau saya ingat-ingat kembali, bersumber dari menemukan sebuah buku di kamar indekos seorang kawan. Karena buku itu, saya—yang dulu fokus pada bidang jurnalistik dan mengira akan menjadi wartawan seumur hidup—beralih fokus ke bidang linguistik. Lantaran sudah mengalami bahwa sebuah buku dapat mengubah arah hidup seseorang, saya makin yakin akan hal itu. Maka, teruslah membaca buku bagi Anda yang merasa belum menemukan arah hidup. Semoga Anda menemukan buku yang dapat menjadi kompas bagi arah hidup Anda.