Belajar Berkata-kata dengan Buku Kosakata

oleh Harrits Rizqi Budiman

Memilih kata terkadang bisa lebih rumit dari yang kita bayangkan. Misalnya, dalam konteks tertentu, kita perlu menentukan suatu aktivitas indra penglihatan antara melihat, memandang, melirik, menatap, mengamati, meninjau, menonton, menyaksikan, dan mengawasi. Pada contoh lain, tak jarang kita menemukan istilah asing atau daerah yang belum ada padanannya sementara kita tengah membuat tulisan yang menggunakan bahasa Indonesia. Namun, kita tak perlu khawatir sebab Djoko Saryono dan Soedjito telah menghadirkan panduan sederhana dan terstruktur agar kita mampu memahami kosakata dan segala kepelikannya.

Dalam buku Seri Terampil Menulis Bahasa Indonesia: Kosakata (2020), dua orang guru besar tersebut membagi pembahasan mengenai kata menjadi lima bab, yaitu “Kosakata”, “Pemilihan Kata”, “Macam dan Makna Kata”, “Istilah”, dan “Gejala Bahasa”. Bab “Kosakata” menyajikan pengertian, penggunaan, dan pembentukan kata. Kemudian, bab “Pemilihan Kata” membincangkan syarat-syarat kata yang patut dipilih untuk sebuah kalimat, yaitu kebenaran, kecermatan, ketepatan, kelaziman, dan keserasian. Lalu, bab “Macam dan Makna Kata”, sebagaimana judulnya, membahas macam dan makna kata serta relasi dan perubahan makna. Sementara itu, bab “Istilah” berfokus pada pengertian, sumber, pembentukan, dan tata bentuk istilah, serta perbedaan antara kata dan istilah—sesuatu yang kerap dipertanyakan orang. Terakhir, bab “Gejala Bahasa” menguraikan sepuluh jenis perubahan pada kata. Pada bab pemungkas itu, pembaca akan menemukan istilah-istilah menarik, seperti apokope dan haplologi, yang akan membuat pembaca berkata, “Oh, ternyata ini namanya!”

Saya pikir buku ini cocok untuk pencinta bahasa yang baru saja menginjakkan kakinya pada bidang kosakata. Sebabnya, meski ada sejumlah istilah linguistik—yang mungkin masih terasa agak asing, pembahasannya disampaikan dengan kata-kata umum sehingga mudah dimengerti. Sebagai pendukung, dihadirkan pula contoh pada tiap poin bahasan. Contoh-contoh yang tertulis diambil dari kalimat sehari-hari. Hal itu akan membuat pembaca merasa dekat dengan bahasan. Di samping itu, buku terbitan Bumi Aksara tersebut dilengkapi dengan soal-soal latihan berupa pilihan dan uraian sehingga pembaca dapat mengasah pemahamannya.

  Buku ini juga mengungkap informasi tambahan yang berguna bagi pembaca. Misalnya, pada halaman ke-11, penulis menyinggung asal-usul kata mantan. Terdapat pula penjelasan tentang kesukaran penggunaan kata-kata deiktis oleh anak-anak pada halaman ke-78—78. Selain itu, penulis menyampaikan pandangannya tentang penggunaan akhiran –isasi; menerangkan perbedaan antara itu dan tersebut, makna konotasi dan kias, ke dan kepada, serta untuk dan supaya; dan menjabarkan macam-macam antonim—yang ternyata lebih dari soal perlawanan biner antara A dan B.

Namun, kita tahu bahwa tak ada gading yang tak retak, bukan? Buku ini pun begitu. “Keretakan” yang paling sering saya jumpai ialah kesalahan tik dan kata baku, seperti tampa alih-alih tanpa (hlm. 4 dan 15), mawas diri alih-alih wawas diri (hlm. 5 dan 9), praja muka karana alih-alih praja muda karana (hlm. 12), olah raga alih-alih olahraga (13), SAW alih-alih saw. (hlm. 14), rohaniawan alih-alih rohaniwan (hlm. 34), moril alih-alih morel (hlm. 37), materiil alih-alih materiel (hlm. 37), idiil alih-alih ideal (hlm. 37), cakra wala alih-alih cakrawala (hlm. 41), serapan alih-alih cerapan (hlm. 139), dan werda alih-alih wreda (hlm. 150). Hal itu cukup ironis mengingat buku ini kerap menyebut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Selain hal di atas, terdapat pernyataan penulis yang perlu ditinjau. Contohnya, pada halaman ke-27, penulis menyebut bahwa bentuk berimbuhan yang dipilih ialah mengritik, memrotes, dan menraktir karena mengikuti hukum KPST. Pandangan tersebut agak berlainan dengan aturan yang menyatakan peluluhan KPST tidak berlaku jika huruf pertama kata dasar diikuti konsonan lain (gugus konsonan). Buktinya, kita dapat melihat di KBBI bahwa bentuk yang dianggap baku ialah mengkritik, memprotes, dan mentraktir.

Pernyataan lain yang dapat kita pertanyakan ialah penggunaan kalau sebagai konjungtor yang merupakan pengaruh dari bahasa Jawa (halaman ke-107). Benarkah begitu? Penulis tidak memberikan informasi lebih lanjut. Padahal, jika pernyataan itu benar dan penjelasannya lebih detail, kita bisa mendapatkan wawasan baru yang menarik dan—yang paling penting—utuh.

Meskipun demikian, buku tersebut tetap layak untuk dijadikan batu loncatan ke tingkat ilmu yang lebih dalam dan kompleks. Sebabnya, tanpa buku yang bersifat pengantar seperti ini, kita akan kesulitan memahami rimba raya perkosakataan yang lebih liar. Mungkin itu pula yang menyebabkan buku ini berjudul Kosakata alih-alih Morfologi. Penulis ingin menyediakan amunisi berkata-kata tanpa membuat pembaca berkaca-kaca.

#kosakata #resensi #djokosaryono #soedjito

 

Penulis: Harrits Rizqi

Penyunting: Dessy Irawan

 

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar