Nilai Religius Ungkapan Kematian

oleh Holy Adib
Ilustrasi Nilai Religius Ungkapan Kematian

Bahasa mereprentasikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat penuturnya, termasuk nilai religius. Dalam bahasa Indonesia hal itu terlihat dari ungkapan yang berhubungan dengan kematian. 

Ada sejumlah ungkapan bermakna ‘mati’ yang memuat nilai religius, misalnya berpulang (ke rahmatullah), meninggal dunia, dipanggil Tuhan, memenuhi panggilan Tuhan, kembali kepada Tuhan/pencipta, dan kembali ke haribaan-Nya. Dalam agama Abrahamik diyakini bahwa manusia diciptakan oleh Allah dan berasal dari surga. Bisa jadi bahwa ungkapan berpulang (ke rahmatullah) dan kembali kepada Tuhan/pencipta berasal dari penganut agama Abrahamik. Mereka yakin bahwa dunia merupakan tempat merantau dan suatu saat mereka akan pulang ke kampung halaman dan kembali kepada Tuhan. Oleh sebab itu pula, mereka menyebut “mati” dengan meninggal(kan) dunia, pergi dari dunia menuju tempat asal untuk memenuhi panggilan Tuhan. Ungkapan-ungkapan tersebut lahir lantaran mereka percaya bahwa mereka akan dipanggil Tuhan setelah beberapa lama hidup di dunia. Hal itu sesuai dengan ucapan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun dalam Islam, yang biasa diucapkan oleh muslim sewaktu mendengar kabar kematian. Ucapan yang dinukil dari Surah Al-Baqarah ayat 156 itu berarti ‘Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan hanya kepada Allah kami kembali’. 

Ungkapan-ungkapan itu berhubungan dengan ungkapan-ungkapan lain yang menyertai peristiwa kematian, misalnya semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Orang yang mengucapkan semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya sepertinya percaya bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali ke sisi Tuhan. Ada ungkapan lain yang senapas dengan ungkapan tersebut, yaitu kembali ke hadirat ilahi/Tuhan dan kembali ke haribaan Tuhan. Hadirat berarti ‘hadapan’, biasanya digunakan berdampingan dengan kata Tuhan dan sebagainya, sedangkan haribaan artinya ‘pangkuan’, juga sering digunakan berdampingan dengan kata Tuhan. Ketika mendengar ungkapan itu, kita bisa membayangkan betapa dekatnya ciptaan dengan penciptanya. Kedua ungkapan tersebut memiliki hakikat bahwa manusia yang disebut mati di dunia sebenarnya pulang ke hadapan atau ke pangkuan penciptanya. Jika menghayati ungkapan itu, kita seharusnya tidak menangisi orang yang meninggal dunia sebab sejatinya ia bahagia: dipangku Sang Pencipta dengan kasih sayang. Adakah kebahagiaan melebihi dipangku Tuhan yang Maha Penyayang? 

Selain itu, ada ungkapan selamat jalan dan semoga dilapangkan jalannya. Ungkapan tersebut memiliki implikasi adanya roh yang tidak ikut mati bersama tubuh yang mati secara biologis. Dalam ungkapan itu terkandung keyakinan bahwa roh akan menempuh perjalanan yang agaknya tidak mudah (sehingga perlu didoakan agar jalan yang dilalui roh itu lapang). Oleh sebab itu, diucapkan selamat jalan oleh orang yang ditinggalkan kepada roh yang akan menempuh perjalanan tersebut. Karena yakin bahwa suatu saat juga akan berpulang, orang yang ditinggalkan mengucapkan sampai jumpa lagi. Ungkapan itu agaknya menyimpan keyakinan, juga harapan, bahwa mereka akan berjumpa kelak di kehidupan lain.  

Semua ungkapan itu bermuara pada keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Kematian yang tampak sebagai akhir kehidupan ternyata awal kehidupan lain. Penganut agama Abrahamik memang memercayai hal itu sebab dalam kitab suci masing-masing ada kabar tentang surga dan neraka. 

Ungkapan-ungkapan bermakna ‘mati’ milik orang beriman itu jelas berbeda dengan ungkapan mati dalam ilmu kedokteran, yang bermakna tidak berfungsinya secara permanen organ-organ vital dan matinya miliaran sel sebab tidak ada lagi regenerasi sel-sel tersebut. Ungkapan mati sama dengan ungkapan mengembuskan napas terakhir karena manusia tidak lagi mengonsumsi oksigen sebagai akibat tidak berfungsinya organ-organ vital (jantung, paru-paru, otak). 

Di samping mati ada ungkapan tutup usia, yang hanya menyiratkan arti bahwa usia seseorang telah usai. Keduanya merupakan ungkapan yang tidak mengandung nilai religius. Oleh karena itu, ungkapan mati dan tutup usia dapat dikatakan bersifat netral. Orang yang tidak percaya Tuhan pun dapat menggunakan ungkapan tersebut tanpa gengsi akan keyakinannya. Jika ateis memakai ungkapan berpulang (ke rahmatullah), dipanggil Tuhan, memenuhi panggilan Tuhan, kembali kepada Tuhan, atau kembali ke haribaan-Nya, tentu teis bisa meledeknya dengan pertanyaan retoris, “Tidak percaya Tuhan, kok, menggunakan ungkapan yang menyiratkan adanya Tuhan?”

Penulis: Holy Adib
Penyunting: Rifka Az-zahra

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar