Kekonsistenan Ejaan-Pelafalan dalam Bahasa Indonesia versus Sebuah Nuget

oleh Johanes Irsan
Ilustrasi Kekonsistenan Ejaan Pelafalan dalam Bahasa Indonesia versus Sebuah Nuget

Hal utama dan paling mendasar dari sebuah bahasa adalah ujaran, bukan tulisan. Pada kenyataannya, tidak semua bahasa di dunia ini memiliki bahasa tulis. Edisi ke-27 Ethnologue (2024) mencatat bahwa dari 7.164 bahasa hidup yang diketahui, baru sekitar 58% di antaranya yang memiliki aksara. Tidak mengherankan bila dikatakan bahwa tulisan adalah ciptaan manusia terhebat, yang memungkinkan diwariskannya budaya, serta pengetahuan yang mengantarkan peradaban manusia kepada kemajuan. 

Untuk mempersatukan masyarakat dengan variasi bahasa, suatu bahasa mengalami pembakuan, termasuk pada bunyi dan aksara. Di sinilah ejaan memainkan peran sebagai sebuah kaidah dalam menggambarkan bunyi-bunyi dengan tulisan. Idealnya, dalam sebuah ejaan, satu huruf dapat mewakili satu fonem sehingga ada kekonsistenan antara ejaan dan pelafalan dalam bahasa tersebut. Sebuah penelitian terhadap anak-anak di Eropa mengindikasikan bahwa kekonsistenan antara ejaan dan pelafalan suatu bahasa memiliki pengaruh positif terhadap kecepatan pemerolehan keterampilan membaca penutur bahasa tersebut.

Berita baiknya, ejaan yang digunakan bahasa Indonesia cenderung mendekati yang ideal. Hampir semua huruf dalam bahasa Indonesia hanya mewakili satu fonem, kecuali huruf <e> yang dapat mewakili 2 fonem yang berbeda, yaitu /e/ dan /ə/, seperti pada apel ‘upacara’ dan apel ‘buah apel’. Berkat kekonsistenan tersebut, mempelajari bahasa Indonesia seharusnya dapat satu langkah lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Inggris, misalnya, yang ejaannya tidak konsisten dengan lafalnya.

Kendatipun demikian, kekonsistenan ejaan dan pelafalan bahasa Indonesia masih jauh dari sempurna. Bahasa selalu berkembang seiring berjalannya waktu karena bermacam-macam faktor, salah satunya adalah kontak dengan bahasa lain. Kontak bahasa tersebut adalah hal yang lumrah dan tak terelakkan, terutama pada era yang sudah mengaburkan batasan waktu dan tempat ini. Bahasa Indonesia juga mengalami hal yang sama. Apalagi, pada saat ini, bahasa Indonesia mengalami kontak tanpa henti dengan bahasa Inggris, bahasa pergaulan internasional, yang ejaannya tidak sekonsisten bahasa Indonesia. Kontak tersebut mempertemukan bahasa Indonesia dengan banyak kosakata asing yang butuh dipadankan, baik diterjemahkan maupun diserap. Sayangnya, terkadang pemadanan yang dilakukan tidak sejalan dengan kenyataan pada penutur bahasa Indonesia, misalnya pada sebuah makanan yang berasal dari Amerika Serikat, yakni nugget

Nugget sudah lama menjadi makanan olahan yang cukup populer di Indonesia. Walaupun demikian, kata nugget baru diserap dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada 2021 di KBBI Edisi V menjadi nuget. Penyerapan nugget menjadi nuget sejatinya sudah sesuai dengan kaidah penyerapan (dalam EYD V dan PUPI), yang memprioritaskan bentuk visual (huruf). Penyerapan ini menghasilkan kata yang bentuk Indonesianya (nuget) sangat mendekati bentuk bahasa asalnya (nugget). Banyak kata yang diserap dengan prinsip serupa, misalnya kamera (camera). Namun, sebagai akibatnya, pelafalan yang baku untuk kata nuget pun harus mengikuti kekonsistenan ejaan bahasa Indonesia, sehingga <u> pada nuget harus dilafalkan sebagai /u/.

Masalahnya, sejak dulu, masyarakat sudah sangat terbiasa melafalkannya sebagai /nagət/, yang lebih mendekati pelafalan bahasa Inggrisnya. Bahkan, setelah diserap menjadi nuget, kebanyakan masyarakat tetap melafalkannya sebagai /nagət/, bukan /nugət/. Akibatnya, terjadi ketidakserasian antara ejaan yang ditetapkan dan pelafalan yang digunakan oleh masyarakat. Selain itu, terdapat hal lain yang membuat pembakuan nuget menjadi terkesan dipaksakan dan tidak menggambarkan kenyataan penutur bahasa Indonesia.

Sebelum KBBI menyerap nugget menjadi nuget, kebanyakan produsen nugget sudah melakukan penyerapan kata nugget menjadi naget, yang meskipun bentuk visualnya tidak sedekat nuget, pelafalannya lebih sesuai dengan kenyataan penggunaan bahasa pada masyarakat Indonesia sehari-hari. Tidak berhenti sampai di situ, sampai sekarang kebanyakan produsen nugget tetap menggunakan naget sebagai padanan dari nugget. Pencarian kata naget dalam nama-nama produk nugget yang terdaftar di Badan POM menghasilkan hingga 1.683 produk, sedangkan pencarian kata nuget hanya menghasilkan 15 produk. Artinya, selain hidup dalam masyarakat, kata naget sebenarnya sudah hidup dalam industri nugget. Produsen nugget pun sudah nyaman menggunakan kata naget. Adapun struktur kata naget masih sesuai kaidah ejaan dan penyerapan. Jadi, seharusnya tidak ada masalah apabila nugget diserap menjadi naget. Sayangnya, sampai sekarang tidak ada lema naget di dalam KBBI. 

Sekalipun kaidah bahasa sudah sedemikian rupa ditetapkan, bahasa tetaplah milik para penuturnya. Kata nuget sebagai padanan untuk nugget harus bersaing dengan kata naget yang lebih menggambarkan bagaimana pelafalan yang digunakan masyarakat Indonesia sehari-hari. Alhasil, yang tampak adalah ketidakkonsistenan antara ejaan dan pelafalan bahasa Indonesia. Apabila dibiarkan, tidak menutup kemungkinan bahwa seiring berjalannya waktu bahasa Indonesia akan mengikuti jejak bahasa Inggris, yang dikenal sebagai bahasa yang tidak konsisten. Sungguh ironis apabila pembakuan yang dilakukan demi menjamin keserasian ini justru menjadi bumerang yang melahirkan kekacauan di dalam bahasa persatuan kita.

 

Rujukan:

Badan Pengawas Obat dan Makanan. Cek Produk – Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Diakses pada 2 September 2024. https://cekbpom.pom.go.id/ search_home_produk.

Ethnologue. How many languages in the world are unwritten? Diakses pada 1 September 2024. https://www.ethnologue.com/faq/how-many-languages-unwritten/.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.  EYD V. Diakses pada 2 September 2024. https://ejaan.kemdikbud.go.id/eyd/unsur-serapan/.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. KBBI VI Daring. Diakses pada 2 September 2024. https://kbbi.kemdikbud.go.id/ DataDasarEntri/History?eid=193726.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kushartanti, dkk. (Eds). 2005.  Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pusat Bahasa. 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Robinson, Andrew. 1957. The Story of Writing. London: Thames & Hudson.

Seymour, P. H., Aro, M., & Erskine, J. M. (2003). Foundation literacy acquisition in European orthographies. British journal of psychology (London, England: 1953), 94(Pt. 2), 143–174. https://doi.org/10.1348/000712603321661859

Sriyanto. 2014. Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia Ejaan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

 

Penulis: Johanes Irsan
Penyunting: Nesti Magdalena

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar