Jenis-Jenis Perubahan Bunyi

oleh Yudhistira
Ilustrasi Jenis-Jenis Perubahan Bunyi

Saya sudah pernah menyinggung sedikit mengenai metatesis. Pada artikel “Bahasa Jaksel”, kata-kata seperti kuy, alig, dan sabeb mengalami metatesis, yakni perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam kata (Kridalaksana, 1984: 123). Tiga contoh di atas mengalami metatesis tanpa perubahan makna. Kuy tetap mengartikan yuk sebagaimana alig dan sabeb hanya membalikkan struktur kata gila dan bebas tanpa mengubah artinya.

Sementara itu, ada pula kata-kata lain yang mengalami metatesis dan perubahan makna. Contohnya adalah jalur dan lajur, royal dan loyar, berantas dan banteras, ulur dan urul, kerikil dan kelikir, serta sapu dan usap. Kridalaksana pun menambahkan contoh kata rontal yang sekarang lebih umum disebut sebagai lontar.

Perlu diketahui bahwa metatesis hanyalah salah satu jenis perubahan bunyi. Di luar metatesis, ada empat jenis perubahan bunyi lainnya yang dipaparkan Chaer dalam Fonologi Bahasa Indonesia (2013). 

Kontraksi

Jenis yang pertama disebut sebagai kontraksi atau penyingkatan atau penghilangan. Kontraksi pada awal kata disebut aferesis. Contohnya adalah perubahan kata upawasa menjadi puasa. Kemudian, kontraksi pada akhir kata disebut apokope seperti kata pelangit yang berubah menjadi pelangi. Lalu, kontraksi pada tengah kata disebut sebagai sinkope. Contohnya adalah baharu yang beralih menjadi baru. 

Diftongisasi

Diftongisasi adalah proses perubahan vokal tunggal menjadi vokal rangkap secara berurutan (diftong). Contohnya adalah kata sentosa. Meskipun bentuk tersebut sudah dibakukan, kita masih sering mengucapkan sentausa. Contoh lainnya adalah kata teladan yang dilafalkan dengan tauladan.

Monoftongisasi

Selanjutnya, jenis ketiga, adalah monoftongisasi yang merupakan kebalikan dari diftongisasi. Monoftongisasi adalah perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal. Contohnya adalah ramai, kalau, dan satai yang diucapkan rame, kalo, dan sate

Anaptiksis

Anaptiksis adalah jenis perubahan bunyi yang terakhir. Di sini, terdapat penambahan bunyi vokal di antara dua konsonan atau penambahan konsonan pada kata tertentu. Terdapat tiga model anaptiksis, yakni protesis, epentesis, dan paragog.

Protesis adalah penambahan bunyi pada awal kata. Contoh:

mas -> emas

mpu -> empu

lang -> elang

Epentesis adalah penambahan bunyi pada tengah kata. Contoh:

kapak -> kampak

sajak -> sanjak

upama -> umpama

Paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata. Contoh:

hulubala -> hulubalang

ina -> inang

adi -> adik

 

Rujukan:

  • Chaer, Abdul. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar