Belakangan ini media massa kita ramai memberitakan penghapusan mural yang berisi kritik terhadap pemerintah. Sebagian pihak menilai bahwa mural itu tidak bermoral sehingga perlu dilenyapkan. Perdebatan pun muncul, baik di media sosial maupun media arus utama, seperti televisi. Para ahli dan pengamat dari berbagai bidang sampai turun tangan untuk menanggapi isu ini. Seluruh kalangan membuka suara.

Pada mula kasus tersebut mencuat, pikiran saya berfokus pada alasan di balik penghapusan itu. Lalu, ketika masalah mural demikian mulai dikait-kaitkan dengan moral, pikiran saya mulai beralih pada perkuliahan semester kedua. Waktu itu, saat mata kuliah Fonologi Bahasa Indonesia, dosen saya menyebutkan sebuah istilah yang berkaitan dengan mural dan moral, yaitu pasangan minimal (minimal pair).

Dalam Kamus Linguistik Edisi Keempat (2008: 174), Harimurti Kridalaksana mendefinisikan pasangan minimal sebagai (1) dua ujaran yang salah satu unsurnya berbeda atau (2) dua unsur yang sama, kecuali dalam hal satu bunyi saja. Kita dapat melihat contohnya pada mural dan moral. Di situ, semua unsurnya sama, kecuali bunyi [u] dan [ɔ]. Kedua bunyi itu membedakan makna.

Mungkin ada Kerabat Nara yang berpikir bahwa tentu saja keduanya membedakan makna karena bentuk hurufnya sudah jelas tidak sama. Namun, perlu diketahui bahwa ada huruf yang bentuknya sama, tetapi dapat membedakan makna, yaitu <e>. Itu tampak pada kata teras. Teras yang berarti bagian dari rumah dan teras yang berarti bagian dari kayu sama-sama menggunakan huruf <e>. Namun, keduanya memiliki makna yang berbeda karena <e> yang pertama berbunyi [ɛ] (seperti pada kata nenek), sedangkan yang kedua berbunyi [ə] (seperti pada kata emas).

Kendatipun begitu, ada pula huruf yang memiliki dua bunyi, tetapi tidak membedakan makna, yaitu <o>. Misalnya, kata bola yang diucapkan sebagai [bola] (/o/ dengan bibir terbuka sedikit) atau [bɔla] (/o/ dengan bibir terbuka lebih lebar) terasa sama saja. Kedua bunyi itu merupakan contoh variasi bebas.

Lantas, kembali ke pembahasan awal, apakah perbedaan makna antara mural dan moral mengartikan bahwa keduanya tidak memiliki keterkaitan? Saya pikir tidak sepenuhnya begitu. Sebagai pasangan minimal, mereka tetap punya kaitan dalam urusan bunyi. Yah, namanya juga pasangan. Tanpa mempelajari bunyi /u/, kita tidak akan mengenal bunyi /o/. Begitu pula sebaliknya. Apalagi, keduanya sama-sama merupakan vokal belakang (lihat Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 2017: 56). 

Atas dasar itu, kita rasanya tidak perlu lagi berdebat apakah mural harus mengandung moral atau tidak. Namun, keduanya memang lebih baik diurus oleh pihaknya masing-masing. Seniman mengurus muralnya; aparat mengurus moralnya.

#pasanganminimal #fonologi

 

Penulis : Harrits Rizqi

Penyunting : Ivan Lanin