Dinda: “Lo dari mana?”
Dandi: “Kena macet.”
Percayalah, model percakapan seperti contoh di atas sering kita temui sehari-hari. Bahkan, kita pun ikut menerapkannya.
Contoh percakapan tersebut melibatkan dua orang, yakni Dinda dan Dandi. Pertanyaan Dinda membutuhkan jawaban berupa tempat, sedangkan Dandi membalas pertanyaan Dinda dengan menjelaskan keadaan. Kita dapat mengatakan bahwa Dandi tidak menjawab pertanyaan Dinda. Itu berarti proses komunikasi antara Dinda dan Dandi pada contoh di atas tidak berjalan dengan lancar.
Herbert Paul Grice, seorang dosen filsafat bahasa di Inggris, mengemukakan sebuah prinsip bernama “prinsip kerja sama” (cooperative principle). Prinsip tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita semua dalam berkomunikasi sehingga pesan dapat tersampaikan dengan jelas, padat, dan tepat sasaran. Di dalam prinsip kerja sama, terdapat empat maksim yang perlu dipahami.
Maksim Kuantitas
Dalam maksim kuantitas, penutur diharapkan bisa menyampaikan informasi secukupnya, tidak kurang dan tidak lebih. Perhatikan contoh berikut.
- Bapak saya punya mobil baru.
- Bapak saya yang laki-laki punya mobil baru.
Di Indonesia, pada umumnya kita merujuk bapak kepada seorang laki-laki, bukan perempuan. Oleh karena itu, frasa yang laki-laki dianggap tidak perlu karena melanggar maksim kuantitas.
Maksim Kualitas
Titik berat maksim kualitas berada pada akurasi informasi. Apabila saya mengatakan bahwa ibu kota Indonesia saat ini adalah Surabaya, itu berarti saya sedang melanggar maksim kualitas. Untuk menghindari pelanggaran maksim kualitas, ungkapan setahu saya, kalau tidak salah, sepertinya, dan sebagainya dapat digunakan untuk menunjukkan kekurangtahuan kita.
Maksim Relevansi
Jawaban Dandi pada contoh sebelumnya melanggar maksim relevansi. Jawaban Dandi tidak sesuai dengan pertanyaan Dinda. Untuk memenuhi maksim relevansi, Dandi sebaiknya memberi jawaban, misalnya, Dari rumah atau Dari kantor.
Maksim Cara
Di sini, penutur diminta untuk memberikan pernyataan dengan lugas, tidak ambigu, dan tidak berlebihan. Contohnya:
Dinda: Lo dari mana?
Dandi: Sebetulnya gue tuh kena macet di Menteng. Mana lampu merahnya lama banget lagi. Terus gue tadi sempet neduh dulu karena hujan dan gue nggak bawa jas hujan. Maaf banget gue jadi telat gini. Padahal deket banget ya.
Dinda: Jadi lo tuh dari mana, sih?
Jawaban Dandi yang berbelit-belit itu adalah contoh pelanggaran maksim cara. Coba lihat, Dinda sampai bertanya dua kali.
Dengan memperhatikan maksim, proses komunikasi dapat berlangsung secara efektif. Namun, saya mesti mengingatkan, selain memegang prinsip kerja sama, kita juga perlu memperhatikan konteks dengan saksama. Misal, jika kembali ke contoh awal, bisa saja pertanyaan Dinda merupakan bentuk protes sebab Dandi terlambat untuk datang. Kita tidak tahu raut muka dan nada bicara Dinda. Kita juga tidak tahu jika keduanya memang sudah memiliki janji untuk bertemu dan Dandi terlambat datang.
Apabila benar demikian adanya, pertanyaan Dinda sebetulnya berbunyi, “Lo dari mana? Kok, telat?”. Maka, jawaban Dandi, Kena macet, akan terasa masuk akal.
Rujukan:
- Kushartanti, dkk. (Ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
- Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin