Cawe-Cawe dalam Pragmatika

oleh Yudhistira

Pada 29 Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengaku akan cawe-cawe pada Pemilu 2024. “Demi bangsa dan negara saya akan cawe-cawe, tentu dalam arti yang positif. Saya tidak akan melanggar aturan, tidak melanggar undang-undang, dan tidak akan mengotori demokrasi,” ujarnya. Diksi cawe-cawe lantas sempat menjadi populer dibicarakan di dunia maya.

Cawe-cawe adalah serapan dari bahasa Jawa yang sudah tercantum dalam KBBI V dengan makna ‘ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani’. Beberapa pihak mengartikan ujaran Bapak Presiden sebagai bentuk ketidaknetralan dalam pentas politik 2024. Ada asumsi bahwa Jokowi berpotensi memanfaatkan kekuasaan dan posisinya untuk memenangkan golongan tertentu.

Firman Noor, peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa ucapan Jokowi bisa mengartikan kecurigaan Presiden terhadap pihak yang tak sejalan dengan visinya. Selain itu, Feri Amsari, Pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Andalas, Padang, berkata, “Sebab, yang dimaksud cawe-cawe adalah dalam upaya memenangkan calon presiden tertentu pilihan Presiden. Terkesan, Presiden akan menggunakan fasilitas dan kewenangan negara membantu calon pilihannya.”

Asumsi-asumsi tersebut ditanggapi oleh Bey Machmudin, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden. “Presiden berkepentingan dalam terselenggaranya pemilu dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial,” jelasnya lewat keterangan tertulis. Intinya, Bey hendak menegaskan bahwa Presiden akan cawe-cawe demi berjalannya Pemilu 2024 yang jujur, demokratis, dan adil. Ditambah lagi, ada pencerahan dari I Dewa Putu Wijana, Guru Besar Ilmu Linguistik, Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, cawe-cawe adalah kata yang netral, tidak mencerminkan tendensius apa pun.

Hal ini menarik untuk dibahas. Entah mengapa, cawe-cawe yang diutarakan Presiden bisa menyimpan arti lain—tolong garis bawahi kata bisa sebab saya tidak berupaya menghakimi niat Bapak Presiden untuk menjaga kelangsungan Pemilu 2024. Dengan sedikit banyak pengetahuan kita, cawe-cawe mungkin memiliki lapis makna. Tanpa keterangan dari Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden, tindakanan cawe-cawe Jokowi dapat menyiratkan praktik nepotisme.

Dalam lingkup pragmatika, kita bisa berasumsi atau memaknai sebuah ujaran dengan kecurigaan karena adanya koherensi, yaitu hubungan antara teks dan faktor di luar teks berdasarkan pengetahuan seseorang. Pengetahuan ini sering juga disebut sebagai konteks bersama (shared-context) atau pengetahuan bersama (shared knowledge). Koherensi adalah salah satu faktor yang memengaruhi interpretasi kita terhadap sebuah wacana dengan konteksnya, baik yang berbentuk ujaran maupun tulisan.

Tentu kita tidak mengharapkan terjadinya praktik nepotisme demi langgengnya sebuah dinasti atau rezim. Namun, kita berhak mengawal kebenaran cawe-cawe yang diucapkan Bapak Presiden dan semoga saja, asumsi kita salah.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar