Humor di media massa sudah menjadi hal yang sering dijumpai, terlebih di media sosial. Adapun humor yang disampaikan dengan bahasa yang singkat mampu membuat seseorang tertawa, melepaskan beban pikir, bahkan memunculkan kritik sosial. Tidak jarang kita mendengar istilah lawakan tunggal (stand-up comedy). Pelaku lawakan tunggal disebut komika. Komika bisa dikatakan sebagai orang yang kreatif mengotak-atik bahasa menjadi sebuah lelucon.
Bayangkan saja, dengan berbekal pelantang suara tanpa properti yang berarti, komika dapat menggunakan bahasa sebagai bahan baku berhumor. Perhatikan kutipan pertunjukan lawakan tunggal komika Aci Resti pada kompetisi Stand-Up Comedy Academy (SUCA) Indosiar berikut.
“[Masuk] lima besar, gue dapat mesin cuci dari Mas Eko. Tapi, gara-gara mesin cuci ini gue jadi takut kalau nggak lolos hari ini. Nanti tetangga gue nanya, ‘Ci, lu ikut SUCA dapat apa?’ ‘Mesin cuci, Mpok.’ Ikut SUCA atau jalan sehat?”
Dengan memperlawankan makna frasa mesin cuci dan jalan sehat, Aci berusaha membuat juri dan penonton tertawa. Lalu, bagaimana bahasa dapat diolah menjadi humor?
Pada contoh di atas, frasa mesin cuci dan jalan sehat saling berkolokasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV, kolokasi diartikan sebagai ‘asosiasi tetap antara kata dan kata lain dalam lingkungan yang sama’. Asosiasi di antara kedua frasa tersebut adalah mesin cuci yang biasa dipilih orang sebagai hadiah acara jalan sehat. Akan tetapi, kedua frasa tersebut dipakai oleh Aci dalam konteks yang berlawanan. Hadiah kompetisi lawakan tunggal di stasiun televisi dibandingkan dengan hadiah acara jalan sehat.
Dengan kata lain, dalam konteks humor ini, terdapat kontras karena SUCA sebagai kompetisi bergengsi seharusnya memberikan hadiah yang besar. Namun, Aci menyebutkan mesin cuci yang lebih cocok untuk acara yang lebih sederhana, seperti jalan sehat. Pemakaian kedua frasa pada konteks ini menjadi komposisi yang pas untuk menghasilkan tohokan (punch line).
Hal-hal seperti inilah yang sering kali dimainkan oleh para komika untuk menyusun pengantar (set-up) dan tohokan yang merupakan dasar pokok lawakan tunggal. Set-up merupakan bagian pengantar berupa cerita biasa, sedangkan tohokan adalah kejutan yang diciptakan untuk membuat orang tertawa (Pragiwaksono & Fakhri, 2022). Di sinilah relasi makna dalam bahasa berperan untuk dipertukarkan konteksnya.
Permainan relasi makna memenuhi syarat penciptaan humor, yaitu adanya ketidaksejajaran, pertentangan, dan pembebasan (Wijana, 2003). Permainan bahasa, khususnya, memenuhi syarat yang pertama, yaitu ketidaksejajaran. Humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran ke dalam suatu objek yang kompleks.
Dalam ilmu bahasa, satuan kebahasaan dapat memiliki makna lebih dari satu, baik itu melalui relasi homonimi, polisemi, antonimi, sinonimi, hipernim, maupun kolokasi. Cara seperti ini digunakan para komika untuk membuat tohokan dari cerita biasa yang berisi keresahan-keresahan mereka. Tanpa sadar, mereka memainkan konteks dan memilih kata dengan makna ganda sebagai bahan baku berhumor. Kreatif, bukan?
Perlu diketahui, kreativitas menggunakan bahasa untuk menciptakan humor tidak sekadar memainkan relasi makna. Permainan fonem juga tidak kalah menarik. Misalnya, pada guyonan “Hewan apa yang bersaudara? Katak beradik”, kata katak merupakan pelesetan dari kata kakak. Dalam KBBI IV, kakak berarti ‘saudara tua; panggilan kepada orang (laki-laki atau perempuan) yang dianggap lebih tua; panggilan kepada suami’, sedangkan katak berarti ‘binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang daripada kaki depan, pandai melompat dan berenang’. Kata katak dan kakak memiliki fonem pembeda /t/ dan /k/. Dengan perbedaan satu fonem saja, makna kata sudah jauh berbeda.
Para komika kerap menggunakan pola tersebut sebagai tohokan. Pola ini juga sering dipakai untuk membuat teka-teki dan pelesetan. Seorang komika bisa dengan kreatif memainkan kata di atas panggung tanpa bantuan properti hingga berhasil membuat orang tertawa.
Akan tetapi, apakah mungkin permainan bahasa sebagai humor terasa garing atau tidak “sampai” di benak penonton? Tentu itu mungkin karena alasan seseorang tertawa dipengaruhi oleh faktor budaya dan suasana hati. Jika penonton tidak memahami konteks humor, bisa saja mereka tidak tertawa. Apalagi jika mereka merasa tersinggung dengan humor tersebut. Bisa jadi bukan tawa yang dihasilkan, melainkan gugatan ke pengadilan.
Rujukan:
- Pragiwaksono, P. & Fakhri, U. 2022. Pecahkan. Jakarta: Wongsoyudan Pratama Indonesia.
- Wijana, I.D.P. 2003. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Penulis: Asri Wijayanti
Penyunting: Nesti Magdalena