Pemerolehan bahasa pada anak dimulai sejak ia lahir. Mulanya, seorang anak memperoleh bahasa pertama dari ibunya. Kemudian, pemerolehan bahasa berlangsung secara bertahap hingga akhirnya anak dapat menguasai tata bahasa secara komprehensif setingkat orang dewasa (Suardi dkk., 2019). Dalam setiap tahap pemerolehan bahasa, anak akan belajar mengenali bunyi-bunyi, menguasai kosakata dasar, hingga mampu membentuk kalimat yang lebih kompleks.

Noam Chomsky, seorang ahli linguistik yang terkenal, menyebut peranti yang menunjang pemerolehan bahasa dengan language acquisition device (LAD). Meskipun letak persisnya tidak diketahui, LAD dianggap sebagai bagian otak yang berfungsi khusus untuk mengolah dan menentukan bunyi, kata, frasa, atau kalimat (Sundari, 2018). LAD bersifat abstrak dan menghasilkan asumsi bahwa secara kodrati, manusia memiliki kemampuan berbahasa secara alami.

Teori Chomsky bukan satu-satunya pandangan mengenai bagaimana mulanya bahasa diperoleh anak. Sebelum akhir 1950-an, bahasa dianggap sebagai bagian dari perilaku verbal (Goldin-Meadow, 2020). Artinya, manusia memperoleh kemampuan berbahasa melalui proses belajar dan lingkungan memengaruhi perkembangannya. Anggapan ini, dalam pandangan B.F. Skinner, seorang ahli psikologi behaviorisme, merujuk pada konsep stimulus–respons. Seorang anak yang mulai belajar berbicara perlu diberikan stimulus berupa pertanyaan dan respons berupa jawaban (Sundari, 2018). Dalam teori behaviorisme, otak anak yang baru lahir diibaratkan sebagai kertas kosong yang siap diisi dengan pengetahuan kebahasaan (Rohimajaya & Hamer, 2020).

Pandangan lain terkait pemerolehan bahasa datang dari seorang psikolog perkembangan, Jean Piaget. Menurut Piaget, bahasa merupakan bagian dari kesiapan kognitif seseorang. Green (dalam Rohimajaya & Hamer, 2020) mengemukakan bahwa dalam teori kognitif, bahasa dipengaruhi kemampuan kognitif, proses mental, dan tata bahasa universal (universal grammar) dalam tingkat dasar ataupun mendalam. Teori ini juga melahirkan teori koneksionisme yang menekankan pentingnya eksplorasi pembelajaran bahasa daripada penjelasan teoretis semata (Goldin-Meadow, 2020).

Dalam psikolinguistik, beberapa ahli mengemukakan bahwa seorang anak umumnya melewati beberapa fase perkembangan bahasa, seperti memperoleh bunyi, mengoceh, dan mengucapkan kata (Aprilia, 2021). Pada usia 1–5 tahun, umumnya anak mengalami perkembangan kognitif dan kemampuan bahasa yang pesat sehingga perlahan memperoleh kompetensi linguistik yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana (Meniado, 2016; Suwandi, 2010). Hal tersebut didukung oleh pendapat Bolinger (dalam Nurlaela & Mangendre, 2020) yang mengemukakan bahwa dalam tahap pemerolehan bahasa pertama, anak usia 30 bulan ke atas sudah memasuki tahap multikata lanjutan.

Ketika memasuki usia 3–5 tahun, umumnya anak sudah memperoleh ribuan kosakata, pengetahuan tata bahasa dan fonologi, serta aturan penggunaan bahasa dalam berbagai situasi sosial (Rahmadhani, 2020). Pada rentang usia ini, anak mulai memiliki ketertarikan untuk mempelajari bahasa.

Dalam ranah morfologi, anak-anak cenderung lebih banyak memperoleh kata benda daripada jenis kata lainnya (Rahmadhani, 2020). Anak-anak juga cenderung memperoleh kata dengan imbuhan akhir (sufiks) daripada kata dengan imbuhan awal (prefiks). Meskipun demikian, anak akan lebih banyak memperoleh proses morfologis seiring dengan tumbuh kembangnya. Selain itu, ketika memasuki pemerolehan sintaksis, anak mulai bisa menggabungkan dua kata atau lebih (Ulfa, 2017). Anak menjadi lebih cepat dalam mempelajari kosakata baru dan bisa mengomunikasikan tuturannya dengan maksud tertentu.

Pemerolehan bahasa pada anak menjadi bukti yang luar biasa dari kemampuan otak manusia untuk mengolah informasi yang kompleks sejak usia dini. Bahasa diperoleh dari hasil kombinasi faktor bawaan lahir dan interaksi lingkungan sekitar. Dengan begitu, penting bagi orang tua untuk memberikan stimulasi yang tepat dan secara aktif melibatkan diri dalam keseharian anak untuk mendorong perkembangan bahasa mereka.

 

Rujukan:

  • Aprilia, F. (2021). “Akuisisi Fonologi Anak Usia 20 Bulan dalam Konteks Percakapan Sehari-Hari: Sebuah Tinjauan Psikolinguistik”. Fon: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 17(2), 247–254. https://doi.org/10.25134/fon.v17i2.4555
  • Goldin-Meadow, S. (2020). “Theories of Language Acquisition”. Encyclopedia of Infant and Early Childhood Development. Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809324-5.23585-2
  • Meniado, J. C. (2016). “First Language Acquisition: A Case Study of a Three-Year Old Lebanese Child”. Journal of Child Language Acquisition and Development, 4(3), 98–112.
  • Nurlaela, N., & Mangendre, Y. (2020). “An Analysis of The First Language Acquisition: A Three Years Girl and A Three Years Boy: Language Acquisition”. Jurnal Sociohumaniora Kodepena (JSK) , 1(2), 90–100. http://jsk.kodepena.org/index.php/jsk/article/view/17
  • Rahmadhani, M. (2020). “The Morphological Aquisition on Indonesian 3 Years Old Children”. The Seall Journal, 1(1), 6–11. https://jurnal.stkipalmaksum.ac.id/index.php/jellas
  • Rohimajaya, N.A., & Hamer, W. (2020). “An Analysis of Dilara’s First Language Acquisition: A Three-Year Child”. Journal of English Language Studies, 5(2), 117–126. http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/JELS
  • Suardi, I.P., Ramadhan, S., & Asri, Y. (2019). “Pemerolehan Bahasa Pertama pada Anak Usia Dini”. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(1), 265. https://doi.org/10.31004/obsesi.v3i1.160
  • Sundari, W. (2018). “Pemerolehan Bahasa”. Jurnal Warna, 2(1 Juni), 54–75.
  • Suwandi, S. (2010). “A Thorough Study on A Child Learning Her First Language: A Case Study on a Three-Year Old Child”. Eternal: English Teaching Journal, 1(1), 1–15.
  • Ulfa, M. (2017). “Pemerolehan Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Anak Usia 2,5–3 Tahun”. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang, 3(1), 1–13.

 

Penulis: Dine Hasya Dwifa
Penyunting: Dita Sabariah