Bjir dan Bjrot
Bahasa akan selalu berkembang. Hal ini tidak terpisahkan dari perilaku manusia, penuturnya, yang juga berkembang. Sebagian Kerabat Nara mungkin tahu, bjir sudah menjadi salah satu kata yang sering digunakan, terutama pada platform Twitter. Kita bisa sedikit mengusut ke belakang bahwa kata ini bermula dari anjing, lalu berubah menjadi anjir, dan bermodifikasi lagi membentuk bjir.
Saya rasa sulit untuk menemukan siapa yang pertama kali menggunakan bjir. Dugaan saya, kata ini terbentuk karena saltik. Saat ini, ponsel yang digunakan oleh banyak orang memiliki QWERTY-based keyboard atau papan tombol berbasis QWERTY, berbeda dengan ponsel jadul yang memanfaatkan ABC-based keyboard. Alhasil, pada sistem QWERTY, huruf n berdempetan dengan b sehingga bjir sangat mungkin terjadi karena saltik.
Fenomena ini ternyata masih berlanjut. Anjir memiliki variasi anjrit yang diikuti pula dengan anjrot. Anjrit menjadi anjrot, bjir pun berubah bjrot. Vokal i dan o bermain di sana dengan penyesuaian posisi yang agaknya diupayakan demi kesedapan bunyi dan kemudahan pelafalan—coba bandingkan dengan bjort.
Kita mengenal istilah “slang”, yakni ‘ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi internal sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti’. Bahasa prokem di Jakarta pada 1980-an termasuk slang. Bahasa Jaksel, seperti anjay, mantul, dan kuy, pun tergolong sebagai slang. Anjir, njir, bjir, dan bjrot, saya pikir, juga merupakan slang.
Ketika membicarakan bahasa slang, kita tidak bisa mengabaikan peran masyarakat sebagai penuturnya. Maka dari itu, kajian sosiolinguistik diberdayakan. Bjir dan bjrot pun dapat ditelusuri melalui kacamata sosiolinguistik. Kita bisa memetakan pengguna bjir dan bjrot karena sosiolinguistik berkaitan dengan komunitas tutur (speech community) yang saat ini dipengaruhi akses terhadap media sosial sebagai corong informasi.
Dalam perkembangan sosiolinguistik, terdapat pandangan yang menyorot bahasa sebagai konstruksi multimodal (multimodal construction). Bahasa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tertulis. Lebih dari itu, bahasa adalah tanda sosial, simbol yang merepresentasikan dinamika kehidupan suatu masyarakat.
Apabila kita menganggap bjir dan bjrot sebagai kata yang norak, percayalah, barangkali anggapan ini juga terjadi pada 1980-an. Bukan tidak mungkin, kedua kata itu akan terekam dalam kamus kita suatu saat nanti.
Rujukan:
- Emte, Shafira Deiktya. 2021. “Mengenal Sosiolinguistik”. Narabahasa.id. Diakses pada 29 Agustus 2023.
- Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Wang, Jiayu, dkk. 2023. “Changing perceptions of language in sociolinguistics”. Dalam Jurnal Humanities and Social Sciences Communications, Vol. 10, No. 91. London: Springer Nature.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian