Mengenal Antropologi Linguistik
Linguistik terapan adalah cabang linguistik yang secara khusus memanfaatkan berbagai teori, metode, dan temuan linguistik lainnya untuk memecahkan suatu permasalahan kebahasaan. Bidang linguistik terapan ini mencakup, antara lain, penerjemahan, pengajaran bahasa, perkamusan, grafologi, perencanaan bahasa, terapi wicara, dan linguistik forensik. Bisa dibilang, linguistik terapan mengutamakan kebermanfaatan yang nyata.
Di luar linguistik terapan, ada pula kajian linguistik yang secara langsung bersinggungan dengan ilmu lain, seperti sosiolinguistik dan psikolinguistik. Keduanya tergolong sebagai linguistik interdisipliner (antardisiplin). Kali ini, kita akan bersama-sama mengenal salah satu kajian linguistik interdisipliner, yakni antropologi linguistik.
Dalam Linguistic Anthropology, Alessandro Duranti (1997) menyatakan bahwa antropologi linguistik dapat dipandang sebagai cabang antropologi yang dikaji lebih luas. Di sini, bahasa diselisik melalui kacamata antropologi, meliputi pendistribusian dan reproduksi nilai budaya, relasi antara sistem budaya dan kehidupan sosial, serta cara suatu masyarakat dalam memahami dunia.
Subjek utama dalam penelitian antropologi linguistik adalah manusia sebagai penutur yang hidup secara komunal dengan standar moralnya masing-masing. Pada kehidupan suatu masyarakat, terdapat nilai-nilai budaya yang dipercaya. Tidak terelakkan, bahasa pun terkandung di dalamnya.
Antropologi linguistik melihat bahasa sebagai sumber sekaligus produk interaksi sosial. Lebih jauh lagi, antropologi linguistik berupaya menyingkap ihwal simbolis dalam tatanan sosial yang tersimpan di balik penggunaan bahasa, seperti konflik etnis, kekuasaan, politik, dan perubahan sosial.
“Linguistic anthropologists start from the assumption that there are dimensions of speaking that can only be captured by studying what people actually do with language, by matching words, silences, and gestures with the context in which those signs are produced,” tulis Duranti.
Salah satu penelitian antropologi linguistik yang saya baca adalah “Konsepsi Arah bagi Orang Jawa (Tinjauan Antropologi Linguistik)” oleh Dwi Cahyono Aji (2010). Penelitian ini berupaya membuktikan betapa melekatnya masyarakat Jawa Tengah dengan penggunaan arah dalam komunikasi sehari-hari. Tidak hanya untuk menunjukkan arah jalanan, arah pun tidak jarang menjadi ungkapan.
Cah gaweane ngidul, misalnya, memaknai ‘orang yang kerjaannya ke selatan’. Jika digali lebih dalam, ungkapan tersebut memiliki konotasi negatif. “Istilah ngidul sering dimaknai sebagai tempat-tempat prostitusi. Kebetulan tempat-tempat prostitusi ini biasanya memang berada di kawasan pantai wisata yang kebetulan di wilayah selatan,” jelas Dwi.
Hal ini berbeda dengan ungkapan Kapan le arep ngalor? yang bermakna ‘Kapan mau ke utara?’ Ungkapan tersebut kerap diasosiasikan dengan konotasi positif karena utara mewadahi aktivitas bekerja yang bermanfaat di kota.
Rujukan
- Aji, Dwi Cahyono. 2010. “Konsepsi Arah bagi Orang Jawa (Tinjauan Antropologi Linguistik)”. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 9, Nomor 1, hlm. 47—60. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
- Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Daftar Tag:
Artikel & Berita Terbaru
- Perbedaan Pantomim dan Mime
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi