Tabik.

Sejak kami mulai tumbuh tiga tahun lalu, ujaran yang mengatakan kami adalah grammar nazi turut mengiringi. Kami sebetulnya tidak begitu senang diberi julukan itu oleh warganet. Kesannya, kami kaku dan doyan marah-marah jika ada kesalahan berbahasa. Padahal, selain berbahasa dengan benar, kami tentu ingin berbahasa yang baik. Term baik merujuk pada berbahasa sesuai konteks. 

Kami tidak perlu mengatur bagaimana kami berbicara satu sama lain. Saat kami sedang berbicara pada teman sebaya, kami kerap menggunakan ndak atau enggak alih-alih tidak, atau enggak masalah alih-alih bukan masalah. Kami tidak kaku dan sangat fleksibel.

Sifat berbahasa dengan baik itu kami terapkan ke hampir seluruh kondisi yang kami temui. Tentu saja, kalau berbicara dengan yang lebih tua, kami lebih suka memanggil lawan bicara dengan sapaan “Bapak” atau “Ibu” dan menggunakan kata ganti “saya”. Namun, takarir pada kanal media sosial kami banyak bergurau. Saat mengajar, widyaiswara kami terkesan kaku. Namun, saat bergosip, mereka tetap seru, kok. Kami hanya berbahasa Indonesia, bukannya tidak bergaul.

Titel grammar nazi ini banyak ragam turunannya. Nama-nama buatan warganet memang selalu kreatif. Kami disapa sebagai “si kaku”, “KBBI berjalan”, dan–yang paling populer–”polisi bahasa”. Dahulu, kami menolak seluruh nama tersebut. Sekarang, kami mengamini–tentu dengan cara kami.

Paul Polba atau Paul si Polisi Bahasa merupakan tokoh buatan kami untuk meluruskan berbagai macam kesalahan berbahasa dalam bentuk yang jenaka. Mungkin, para penggemar sepak bola akan merasa bahwa nama yang kami pilih ini dekat dengan sesuatu. Ya, benar! 

Kami terinspirasi dari nama pemain sepak bola “Paul Pogba”. Setelah memilih nama “Polba” yang merupakan akronim dari “polisi bahasa”, kami mencari satu nama lagi yang cocok untuk disematkan. Itulah bagaimana akhirnya nama Paul Polba ditemukan.

Nantikan Paul Polba tidak hanya di media sosial, ya.

 

Salam,

Thesa Nurmanarina

Sekretaris Direktur dan Spesialis Hubungan Masyarakat