Kira-kira seminggu yang lalu, musisi bernama Dikta Wicaksono mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Usai tampil bermain musik di Anjungan Sarinah, Jakarta Pusat, eks vokalis Yovie & Nuno ini diduga menerima pelecehan seksual. Memang, tidak ada keterangan pasti apakah Dikta betul-betul dilecehkan. Namun, dalam video-video yang berseliweran di internet, Dikta tampak berjalan kesakitan. Tangannya menutupi area kelaminnya.

Beberapa netizen berkomentar bahwa “lato-lato” Dikta telah diremas. Media massa pun menggunakan diksi lato-lato untuk memaknai ‘testis’. Tentu saya terkejut membacanya. Bayangkan, betapa makna kata lato-lato dapat meluas dengan cepat.

Seperti yang dituliskan Muis dkk. dalam Perluasan Makna Kata dan Istilah dalam Bahasa Indonesia (2010), perubahan makna kata adalah salah satu efek dari perkembangan teknologi dan fenomena sosial. Dalam hal ini, kita tentu tahu bahwa kasus pelecehan seksual terkadang perlu diviralkan di dunia maya demi menjerat pelakunya. Terlebih, maraknya permainan lato-lato juga tidak terlepas dari paparan media sosial.

Terdapat beberapa jenis perubahan makna. Peyorasi, misalnya, adalah perubahan yang membuat makna memiliki definisi negatif. Kata bangsat tidak hanya mengartikan ‘kutu busuk’. Kini, ia dapat berdiri sebagai umpatan yang mewakili makna ‘orang yang bertabiat jahat’. Sementara itu, ada pula jenis ameliorasi. Berkebalikan dengan peyorasi, ameliorasi adalah perubahan yang membuat makna menjadi positif.

Di dalam ameliorasi, ada subjenis bernama eufemisme. Mungkin Kerabat Nara familier dengan yang satu ini. Dengan eufemisme, sebuah kata dapat menggantikan kata lain yang dianggap tabu, terlarang, atau kasar. Contohnya adalah penggunaan meninggal alih-alih mati. Kemungkinan besar, testis yang disubstitusikan dengan lato-lato merupakan wujud eufemisme.

Ingat, perubahan makna dapat terjadi sebagai perluasan dan penyempitan. Buat saya, eufemisme punya dampak baik dan buruk. Dengannya, kita dapat menghindari penggunaan diksi yang sensitif atau terdengar kasar. Eufemisme bisa menghaluskan tulisan kita jika memang itu adalah tujuannya.

Namun, dalam konteks lato-lato dan testis, eufemisme berpotensi membawa masalah. Apabila lato-lato digunakan terus-terusan untuk mengakali penyebutan testis, ingatan murni kita tentang permainan lato-lato dapat memudar. Bahkan, bisa saja, suatu hari nanti lato-lato dapat terdaftar dalam kamus dan memaknai testis.

 

Rujukan: Muis, dkk. 2010. Perluasan Makna Kata dan Istilah dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin