Bulan Oktober identik dengan perayaan Bulan Bahasa Indonesia yang tidak terlepas dari peringatan Sumpah Pemuda. Pada 27 dan 28 Oktober 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, perwakilan pemuda peranakan Tionghoa, serta organisasi lainnya berkumpul untuk tiga tujuan. Pertama, melahirkan cita-cita semua perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia. Kedua, membicarakan beberapa masalah dalam pergerakan pemuda-pemuda Indonesia. Sementara yang ketiga, memperkuat kesadaran atas kebangsaan dan mengeratkan persatuan Indonesia.

Seperti yang kita ketahui kemudian, kongres tersebut menghasilkan tiga ikrar. Pada poin yang terakhir, dicetuskan bahwa kita menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hingga saat ini, banyak lembaga yang lalu memperingati Bulan Bahasa Indonesia dengan berbagai macam perayaan, antara lain lomba, festival, pembacaan karya sastra, musikalisasi puisi, dan alih wahana sastra. Mulai dari tingkat sekolah, perguruan tinggi, dan khalayak umum, rangkaian perayaan tersebut seolah diselenggarakan untuk mencerminkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.

Kebetulan, sewaktu kuliah dulu, saya cukup aktif dalam penyelenggaraan acara Bulan Bahasa Indonesia. Dari tahun ke tahun, acaranya cukup padat, bisa menghabiskan dua sampai tiga hari untuk mengadakan lomba pembacaan puisi, musikalisasi puisi, pementasan teater, diskusi, dan konser musik. Tentu saja, acara ini melibatkan mahasiswa jurusan sebagai panitia, partisipasi orang luar sebagai peserta dan penikmat, serta bantuan dan dukungan dari para dosen. Akan tetapi, agar tidak sekadar menjadi seremonial tahunan, penting untuk menanyakan, apa dampak dari perayaan Bulan Bahasa Indonesia? 

Perlu diingat, peringatan Bulan Bahasa Indonesia adalah perayaan ulang tahun Sumpah Pemuda dengan berfokus pada janji ketiga. Apa yang kita lakukan pada hari ulang tahun hanyalah sebuah pengingat dan bentuk syukur. Setelah melakukan rekapitulasi dan evaluasi hal-hal yang sudah dilakukan selama setahun ke belakang, kita akan menuliskan rencana-rencana serta harapan baru dan berjuang lagi.

Hari ini, saya lihat, banyak orang sudah mulai getol untuk menggunakan bahasa Indonesia. Lini masa media sosial cukup ramai dengan teman-teman yang semakin memperhatikan ejaan, mempersoalkan kalimat yang tidak jelas, juga judul pemberitaan di media massa. Korespondensi antardinas bahkan sempat ramai diperbincangkan di Twitter dan netizen yang bertanya ke Ivan Lanin soal ejaan atau padanan pun semakin mengantre. Sementara itu, produksi karya sastra berbahasa Indonesia juga dipelopori oleh penulis-penulis muda yang mulai bermunculan dan mendapat respons positif dari pembaca. Terlebih, pembaca-pembaca kita kian kritis.

Apakah fenomena tersebut pantas untuk dianggap sebagai sebuah pencapaian? Saya rasa iya, meski masih pada tahap awal. Diskusi kita mulai berjalan, kendati masih terbatas pada ruang media sosial dan sekadar berbentuk komentar. Akan tetapi, poin bagusnya, kita mulai berani untuk membicarakan bahasa Indonesia tanpa rasa malu.

Perjalanan untuk melestarikan bahasa Indonesia masih panjang. Tapi setidaknya, kita bisa beranjak dari titik yang tidak terlalu buruk.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Dessy Irawan