Pada 17 Desember 2020, Narabahasa menggelar program baru berupa siaran langsung di YouTube. Program ini bernama Lisan (Selisik Kebahasaan), diadakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai bahasa Indonesia. Pada episode perdana ini, Dessy Irawan dan Pak Nazarudin (Nazar)–dosen linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia–berbincang-bincang mengenai perkembangan bahasa Indonesia. 

Oleh karena banyak hal yang dibahas oleh Dessy dan Pak Nazar, saya hanya akan menyorot satu topik menarik dalam Lisan #1: Perkembangan Bahasa Indonesia, yaitu perihal kata serapan.

Ibarat manusia, bahasa Indonesia tidak dapat hidup tanpa bahasa lain. Bahasa kita banyak belajar dari bahasa lain dan menyerap kata-kata asing. Kata-kata serapan ini sudah tercatat sejak dahulu kala. Contohnya, pada prasasti berbahasa Melayu tertua (abad ke-7) yang bertuliskan huruf Palawa, terdapat kosakata serapan dari bahasa Sanskerta, seperti kepala, kerja, dan semua.

Bahasa Hindi-Urdu juga berkontribusi terhadap kata serapan dalam bahasa Indonesia, misalnya kata roti, celana, topi, dan kunci. Selain itu, bahasa Dravida atau bahasa Tamil dari bagian selatan India juga meninggalkan jejak kosakata, seperti kapal, teman, nelayan, dan kedai. Lebih dari itu, ada pula bahasa Arab dan Persia yang turut menyumbang kata dunia; badan; kuat; dan domba; anggur; gandum. Tidak ketinggalan, bahasa dari negara barat, seperti Portugis–yang masuk pada awal abad ke-16, juga ikut memberikan sumbangsih. Contohnya adalah kata lampu dan buku.

Selain dari bahasa asing, kata serapan dari bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, dan Bali juga berkontribusi pada perkembangan bahasa Indonesia. Contohnya kata bebek, mulus, sabuk, keponakan, ajak, dan sebagainya.

Menurut Uri Tadmor (2009) dalam penelitiannya mengenai kata serapan dalam bahasa Indonesia, 34 persen kata dalam bahasa Indonesia merupakan hasil penyerapan dari bahasa asing dan daerah. Perhatikan tabel yang berisi jumlah persentase kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia berikut.

 

SumberJumlah (dalam persentase)
Bahasa Jawa8,9
Bahasa India8,4
Bahasa Belanda6,4
Bahasa Arab/Persia5,7
Bahasa Portugis (termasuk Kreol)1,4
Bahasa Inggris1,2
Bahasa Tiongkok0,7
Bahasa Daerah Sumatera0,4
Bahasa yang Tidak Diketahui Sumbernya0,5
Bahasa Lainnya0,4
Total34,0

Selain digolongkan menurut asal daerahnya, Tadmor juga mengklasifikasikan kata-kata serapan berdasarkan kategori kelas kata.

Kelas KataBahasa (dalam persentase)
JawaIndiaBelandaArab/PersiaPortugis (termasuk Kreol)InggrisTiongkokSumateraTidak Diketahui SumbernyaLain-lain
Nomina1010,19,67,42,1210,30,80,6
Verba6,83,81,93,20,40,20,40,20,2
Adjektiva10,96,80,65,31,2
Adverbia15,4
Kata Tugas411,32,41,20,8
Seluruh kata8,98,46,45,71,41,20,70,40,50,4

 

Pada sesi ini, Pak Nazar mengatakan, “Bahasa itu ibarat mobil, kalau mau tetap jalan, perlu bahan bakar. Nah, bahan bakar itu adalah kata-kata.” Bisa disimpulkan bahwa kata-kata serapan merupakan salah satu bahan bakar bagi perkembangan bahasa Indonesia. Buktinya, sampai hari ini, kita masih mengandalkan kata-kata tersebut untuk berbahasa.

Kerabat Nara bisa menyaksikan ulang Lisan #1: Perkembangan Bahasa Indonesia pada tautan ini.

 

Rujukan

Irawan, Dessy & Nazarudin. 2020. Lisan #1: Perkembangan Bahasa Indonesia. Jakarta: Narabahasa. Ditayangkan pada 17 Desember 2020.

 

Penulis: Yudhistira
Penyunting: Harrits Rizqi