Belakangan, saudara anjing ramai diperbincangkan pada media sosial. Saya pun baru mendengar bentukan ini. Saudara anjing sudah tercatat dalam kamus kita dengan makna ‘saudara seibu berlainan ayah’. Yang menarik untuk diulik adalah sejarah pembentukan saudara anjing.

Asep Rahmat Hidayat dalam tulisannya memaparkan bahwa Hikayat Cerita Maharaja Rahwana (1933) sudah memanfaatkan saudara anjing untuk menggambarkan hubungan kekerabatan. Dalam buku pelajaran bahasa Melayu, tutur Hidayat, saudara anjing juga telah digunakan. Dalam bahasa lain, kita pun dapat menemukan bentuk lain yang bermakna serupa. Terdapat dunsanak anjing dalam bahasa Minangkabau, sedulur asu dalam bahasa Jawa, dan seperadian kuyuk (‘asu’) dalam bahasa Melayu Brunei. Namun, waktu kemunculan awal saudara anjing belum dapat dipastikan.

Dalam tulisan yang lain, Sanjaya dan Firdaus menanyakan pendapat Ganjar Harimansyah—Kepala Balai Bahasa Sulawesi Selatan—tentang pemilihan diksi anjing pada saudara anjing. Menurut Ganjar, penggunaan kata anjing dapat diasosiasikan dengan perilaku anjing betina yang lazim kawin dengan pejantan. Kendati begitu, sang ibu tidak pilih kasih terhadap anak-anaknya.

Mengenai saudara anjing, kita perlu sepakat bahwa ia bukanlah frasa (gabungan kata). Bentuk ini merupakan kompositum (kata majemuk) yang terbentuk karena proses morfologis. Saudara anjing adalah kata majemuk semiidiomatis. Kata anjing pada kompositum tersebut memuat makna khusus.

Pasti ada di antara kita yang berpikiran bahwa kata anjing dapat memaknai makian. Dalam kiriman Uda Ivan di Instagram tentang saudara anjing, misalnya, beberapa netizen berkomentar, merasa bahwa seharusnya dapat dipilih kata lain yang lebih sedap ketimbang anjing.

Untuk hal ini, saya sepemahaman dengan Kang Asep. Beliau menuliskan, “Korpus membuktikan bahwa frasa saudara anjing pernah digunakan. Oleh karena itu, secara leksikografis, keberadaan lema tersebut dalam kamus sangat sah.”

 

Referensi

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin