Saya mempunyai seorang teman yang gemar mengulas film laris. Jika ada film yang sedang naik daun, ia segera menontonnya. Setelah itu, ia menuliskan penilaiannya di Instagram, lengkap dengan sejumlah gambar dan keterangan dari film itu.
Kegemaran tersebut membuat teman saya sering berurusan dengan kata atau istilah. Pada suatu kali, misalnya, ia ingin menggunakan kata vilain (dari bahasa Inggris villain). Menurutnya, kata itu lazim dipakai pada ranah film buku komik (comic book movie/CBM). Selain itu, vilain lebih singkat daripada terjemahan villain sendiri, yaitu ‘penjahat super’. Masalahnya, kata yang hendak digunakan itu tidak tercatat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus kesayangan kita. Lantas, ia bertanya, “Apakah boleh saya menggunakan vilain?”
Masalah demikian kerap saya jumpai. Dalam ranah musik, contohnya, istilah fret lazim digunakan untuk menyebut besi melintang yang terdapat pada papan senar gitar. Namun, istilah itu belum tersedia di KBBI. Akibatnya, beberapa teman saya yang pemusik agak kebingungan untuk menuliskannya.
Sebenarnya, vilain dan fret sudah sesuai dengan kaidah penyerapan. Keduanya juga lazim dipakai pada bidang masing-masing. Meskipun begitu, karena tidak ada di KBBI, tetap saja ada yang bertanya tentang penggunaan keduanya.
Untuk menjawab problem tersebut, kita mesti mengetahui dahulu fungsi sebuah kamus. Dalam tulisannya yang berjudul “Leksikografi Indonesia: Konsep Dasar, Fungsi, Isi, Dan Jenis Kamus”, Sujarno menyebut bahwa salah satu fungsi kamus ialah menghimpun semua kosakata yang ada dalam suatu bahasa. Sementara itu, secara lebih spesifik pada KBBI, Muhadjir Effendy dalam “Sambutan dan Prakata KBBI Edisi Kelima” menulis, “Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terekam semua fakta kebahasaan yang meliputi perkembangan makna dan konsep yang masuk bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.” Ia pun mengatakan bahwa KBBI menyimpan kosakata dan istilah sebagai sarana pengungkapan gagasan dan pikiran. Jadi, berdasarkan penjelasan kedua orang itu, dapat disimpulkan bahwa kamus mencatat kata-kata (dan maknanya) yang telah ada.
Faktanya, jumlah kata terus bertambah. Kamus pun tidak sanggup menangkap semuanya. Bahkan, jika bisa memasukkan semua kata yang muncul pada hari ini, ia masih harus bekerja lagi esok. Itulah alasan KBBI melakukan pemutakhiran dua kali setahun, yakni tiap April dan Oktober.
Kita dapat melihat bukti keterlambatan pencatatan pada kata mabar. Tulisan “Apa arti Mabar? Istilah yang Sering Disebut Gamers” di Kumparan menyebut bahwa kata tersebut muncul pertama kali sekitar 2019. Hal itu sejalan dengan yang ditulis M. Agustria dalam “Apa Arti Kata Mabar? Kata yang Sering Disebut Anak Gamers, Ini Maksud Kata Mabar Sebenarnya”. Selain itu, Kamus Istilah Ilmiah susunan Juni Ahyar dan Muzir telah mencatat mabar pada 2019. Namun, KBBI baru menyediakan itu pada April 2022, 3 tahun setelah kata itu populer.
Dengan kenyataan demikian, apakah kita harus menunggu sebuah kata tercatat di KBBI terlebih dahulu baru kemudian kita pakai? Saya pikir tidak. Untuk hal itu, saya sepakat dengan yang ditulis Ivan Lanin dalam Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?. Pada halaman ke-165, ia menyatakan, “Suatu kata yang belum ada di dalam kamus tidak serta-merta haram untuk dipakai. Selama pengirim dan penerima pesan memahami dan menyepakati arti kata tersebut, pakai saja. Bahasa itu milik semua penutur, kok. Bukan hanya milik otoritas bahasa.”
Menariknya, pada salah satu kiriman, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—selaku otoritas bahasa di negeri ini—menyebut payunan sebagai padanan forehand dan pukul pungkur sebagai padanan backhand. Setelah saya cek, kedua padanan itu belum ada di KBBI. Jadi, kalau otoritas saja menggunakan kata yang belum ada di kamus tersebut, mengapa kita harus menunggu KBBI untuk bersabda?
Penulis: Harrits Rizqi
Penyunting: Ivan Lanin