Pada Mei 2024, RUU Penyiaran ramai dibicarakan di media sosial. Draf dan usulan yang dibuat oleh Komisi Penyiaran DPR ini menuai banyak protes karena salah satu pasal di dalamnya membatasi peranan jurnalisme investigasi. Menurut pasal itu, jurnalisme investigasi perlu dibatasi agar media massa tidak mengganggu aparat dan petugas hukum lain yang sedang melakukan penyelidikan. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa insan pers dapat memengaruhi dan memonopoli opini publik lewat kerja-kerja jurnalistik.

Tentu saja alasan tersebut sangat tidak kuat. Media massa dan jurnalis bukanlah musuh, melainkan kawan baik untuk bisa mencapai cita-cita demokrasi, yakni kebebasan beropini. Sebuah peristiwa sebaiknya dapat dilihat secara berimbang melalui peliputan yang holistik. 

Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, memberikan pernyataan yang senada seperti klarifikasi, “Tidak ada semangat larangan tayangan investigasi jurnalistik. Yang dilarang (adalah) monopolinya.” Selain itu, Bobby Adhityo Rizaldi selaku anggota Komisi I DPR RI turut mengatakan bahwa jurnalisme investigasi hanya akan dibatasi dengan penerapan publisher rights. Dengan kata lain, jurnalisme investigasi disiarkan secara eksklusif. Katakanlah media A adalah media pertama yang melakukan investigasi terhadap suatu kasus. Apabila  B berniat melanjutkan investigasi tersebut,  B harus membeli hak siar dari  A. Kurang lebih, skema ini yang akan diterapkan.

“Inilah yang kami ingin bahwa jurnalisme investigasi eksklusif ini, kata-katanya baiknya, bukan dilarang, melainkan dibatasi, supaya hanya media yang pertama kali membuat produk jurnalistik investigasi itu yang boleh membahas dan yang lain tidak boleh,” jelas Bobby kepada Kompas.

Yang ingin saya bahas adalah kelanjutan peliputan Kompas—bisa juga disebut sebagai investigasi (?)—yang berupaya mengurai benang kusut seputar RUU Penyiaran. Apabila pasal pembatasan jurnalisme investigasi disahkan, itu berarti saya harus membeli hak siar atas data-data yang disajikan oleh Kompas. Praktik jurnalisme investigasi makin rumit. Terlebih, pernyataan Meutya Hafid yang menyangkut pembasmian monopoli wartawan malah dapat terwujud. Bukankah eksklusivitas mengukuhkan hegemoni tunggal atas sebuah informasi?

Karena banyak pihak yang kontra terhadap pasal-pasal dalam RUU Penyiaran itu, pembahasan lanjutan pun diputuskan untuk ditunda. Meskipun begitu, kita tetap perlu mengawal dan memantau perkembangannya. Jangan sampai pasal-pasal yang mencederai demokratisasi informasi disahkan tanpa dialog terbuka dengan masyarakat pers.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin