Kira-kira pada 2013 atau 2014 saya pertama kali membaca nama Ignas Kleden. Namanya unik, tidak umum bagi saya yang besar dan tumbuh di Jakarta. Waktu itu, saya masih berkuliah. Salah satu kelas mewajibkan saya untuk membaca Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya (2004) dalam bentuk fotokopi. Entah ke mana salinannya. Saya sudah lupa isi buku tersebut. Namun, yang jelas, buku tersebut dianggap penting oleh sejumlah dosen jurusan Sastra Indonesia kala itu.

Bapak Ignas Kleden lahir Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada 19 Mei 1948. Beliau mundur dari seminari, kurang lebih setahun sebelum kelulusannya. Alasannya, Bapak Ignas merasa bahwa kemampuannya bukan berkhotbah, melainkan menulis. Karya-karyanya, sejak beliau berusia 20-an, dipublikasikan di beberapa majalah di Yogyakarta dan Jakarta. Sepak terjangnya dalam menulis diyakini meningkat ketika beliau merantau ke Jakarta pada 1974 dan menjadi kolumnis tetap Tempo.

Banyak tulisan Bapak Ignas yang berkisar pada topik sastra. Dalam sebuah obituari, Reza Maulana (2024) menyatakan bahwa ciri khas kepenulisan Bapak Ignas adalah landasan teori, sedangkan esais lainnya—dalam hal ini adalah kritikus sastra—bertitik berat pada rasa. Ketekunan beliau dalam bidang sosiologi membuat karya kritik sastranya memanfaatkan pisau bedah sosiologi, sebagaimana dikatakan oleh Maman S. Mahayana, “Saat banyak kritikus sastra mengkritik sastra Indonesia secara struktural, Ignas Kleden mencoba mengkaji dari sisi sosiologis.” Salah satu dosen saya itu juga menyebut bahwa Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya adalah buku wajib bagi para pegiat sastra.

Di luar itu, selama masa hidupnya pada awal 1970-an, Bapak Ignas aktif menerjemahkan buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, NTT. Kemudian, beliau juga berlaku sebagai editor penerjemah untuk buku-buku ilmu sosial di Yayasan Obor Indonesia. Di sinilah, Bapak Ignas mendapatkan tawaran untuk bekerja di Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial yang membuat dirinya mendalami ilmu-ilmu sosial.

Salah satu perhatian Bapak Ignas yang patut disorot adalah perkara pendidikan di Indonesia. 

”Pendidikan kita masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya. Ini proyek besar yang harus segera diselesaikan bersama. Pendidikan hanya bisa berubah kalau kita membenahi infrastrukturnya. Pertama, gaji pengajar harus mencukupi karena peran mereka sangat penting untuk membangun kebudayaan dan politik yang benar. Kedua, pendidikan harus menjadi isu politik yang sentral, bukan sekadar persoalan teknis semata,” tuturnya. Bapak Ignas menegaskan bahwa fokus pendidikan di Indonesia masih mengajarkan kita untuk tunduk pada kekuasaan, alih-alih berpikir. Alhasil, teori ditelan sebagai doktrin, bukan sebagai alat yang semestinya disesuaikan dengan permasalahan yang ada.

Pada 22 Januari 2024, Bapak Ignas Kleden mengembuskan napas yang terakhir. Beliau meninggal pada usia 75 tahun karena gagal ginjal. Kita kehilangan salah satu pemikir, cendekiawan, dan esais terbaik di tanah air. Selamat jalan, Pak.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin