Tertawa Menjelajah Semesta Bacaan

oleh Gifari Juniatama
Ilustrasi Tertawa Menjelajah Semesta Bacaan

Artikel ini merupakan karya pemenang ketiga Opera (Opini Kerabat Nara) 2024, sebuah lomba menulis opini yang diadakan oleh Narabahasa pada Agustus 2024.

 

“Tiada kapal seperti buku, membawa kita ke negeri-negeri yang jauh.” — Emily Dickinson

Putri kecil saya baru berusia empat belas bulan, tetapi selalu riang saat bermain dengan buku-bukunya. Belum begitu banyak kata atau kalimat yang bisa diucapkan dari mulutnya. Namun, setiap kali melihat saya sedang bersantai di rumah, ia selalu menyodorkan buku yang sedang disukainya untuk dibacakan.

Ketika nenek dan kakeknya datang ke rumah, putri saya juga menunjukkan buku kepada mereka agar bisa dibacakan. Sejak usianya baru tiga bulan dan sudah mulai bisa tengkurap, saya memberinya tiga buah buku anak dengan lembaran tebal (board book) berukuran kecil, yang berisi gambar dengan warna hitam dan putih agar ia bisa melihatnya sekaligus berkenalan dengan buku. Istri saya membelikan buku-buku berbahan kain dengan gambar sayuran, buah, dan binatang. Buku-buku yang berwarna tersebut ternyata lebih sering dimainkan oleh putri kami.

Sebelum putri pertama kami lahir, saya dan istri memang sudah membicarakan keinginan untuk memperkenalkan buku-buku kepada anak kami kelak. Istri saya sering mengirim video di Instagram yang berisi contoh-contoh bagaimana seorang ayah bisa mendampingi anaknya untuk membaca buku sejak kecil.

Bagi kami, mendekatkan buku kepada anak adalah sebuah usaha untuk mempererat ikatan antara orang tua dan anak. Ada sebuah harapan, jika kami membacakan buku dan menemani anak membalik setiap halaman, perasaan senang akan tumbuh di hatinya. Menurut Jim Trelease dalam The Read-Aloud Handbook (2013), setiap kali orang tua membacakan buku untuk anak, otak anak akan menerima pesan “kesenangan”.

Trelease juga menulis bahwa kebiasaan membacakan buku untuk anak turut membentuk selera dan cara mereka dalam bersenang-senang. Anak akan mengasosiasikan aktivitas membaca buku dengan perasaan senang. Oleh karena itu, kami berharap putri kami akan tumbuh dengan buku sebagai teman dekatnya untuk bersenang-senang.

Usaha membuat anak untuk bersahabat dengan buku juga merupakan salah satu hal yang kami lakukan agar ia tidak terlalu banyak menggunakan ponsel dan jauh tenggelam ke dalam dunia layar di kemudian hari. Nicholas Carr dalam The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita? (2011) menulis bahwa budaya internet secara perlahan telah mendangkalkan cara berpikir manusia. Kedangkalan dalam berpikir ini tentu bukan sesuatu yang diharapkan oleh orang tua untuk terjadi pada anak mereka.

Di sisi lain, terjadi pula fenomena menurunnya minat anak untuk menjadikan buku sebagai teman bersenang-senang. Penelitian yang dilakukan oleh Scholastic—sebuah perusahaan besar penerbit buku anak—pada 2022 menemukan bahwa hanya 28% saja anak berusia 6–17 tahun di Amerika Serikat yang membaca selama lima hari atau lebih dalam seminggu. Sementara itu, sebanyak 72% anak lainnya memiliki frekuensi membaca lebih sedikit dalam sepekan.

Gambaran tren yang terjadi dalam penelitian tersebut sudah cukup untuk mendorong saya sebagai orang tua agar lebih cermat dalam membuat anak senang membaca. Selain berdampak bagus pada perkembangan intelektual, kegiatan membaca buku juga bisa menjadi medium bagi anak untuk mempelajari keterampilan mengelola emosi dengan lebih baik dan mengembangkan keterampilan sosial mereka (Scoppmann et. al, 2023). Dengan begitu, buku dapat menjadi pedoman bagi anak untuk perlahan belajar memahami gelap dan terang kehidupan.

Bagi orang tua, mendekatkan buku dengan anak juga dapat menjadi salah satu cara dalam memahami anak dengan lebih dekat. Penelitian Scholastic yang bertajuk Kids and Family Reading Report (2022) mengungkapkan bahwa aktivitas membaca dapat membantu orang tua memahami minat anak, mengerti perasaan dan emosi anak, mempersiapkan pengalaman baru, dan mengenali identitas diri sendiri serta orang lain.

Selain itu, kegiatan membaca juga dapat memberikan kemerdekaan berpikir bagi anak. Ketika lingkungan sosial dalam masyarakat cenderung memaksakan kepatuhan pada anak dan mengikis kemampuan berpikir kritisnya, bacaan anak mungkin dapat menjadi jalan alternatif bagi mereka dalam melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Itu sejalan dengan pendapat Amanda Niland (2023) yang mengungkapkan bahwa aktivitas literasi akan memberikan anak pengalaman tentang fantasi dan fiksi, yang akan merangsang pemikiran imajinatif mereka.

Pada akhirnya, besar harapan kami agar kenangan membaca buku di masa kecil ini akan terus memeluk putri kami sampai waktu yang tidak pernah kami ketahui. Memori tentang bacaan akan menghangatkan setiap sudut hatinya dan mengguratkan senyum di wajahnya dan mungkin membuatnya tertawa bahagia.

 

Rujukan:

  • Carr, Nicholas. 2011. The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?. Bandung: Mizan.
  • Niland, Amanda. 2023. “Pictures Book, Imagination, and Play: Pathways to Positive Reading Identities for Young Children”. Education Sciences, 13(5), 1–9.
  • Scholastic. 2022. Scholastic Kids & Family Reading Report. Diakses pada 7 September 2024.
  • Schoppmann, J., Franziska, S., Silvia, S., & Sabine S. (2023). “The Effect of Picture Book Reading on Young Children’s Use of An Emotion Regulation Strategy”. PLOS ONE, 18(8), 1-21.
  • Trelease, Jim. 2013. The Read-Aloud Handbook. New York: Penguin.


Penyunting: Nesti Magdalena

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar