”Perubahan iklim membunuh kita. Perubahan iklim adalah krisis kesehatan,” ujar Vanessa Kerry, Utusan Khusus WHO untuk Kesehatan dan Perubahan Iklim. Sejak lama, perubahan iklim sudah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Upaya demi upaya digagas dan dijalankan. Namun, perubahan yang signifikan belum juga tercapai.

Sebagai salah satu alat untuk merekam keadaan sosial, karya sastra turut menyorot kegelisahan darurat iklim ini. Banyak karya sastra yang memuat topik perubahan iklim. Kendati begitu, beberapa waktu yang lalu, saya baru mengetahui bahwa ada nama besar yang memayungi fiksi-fiksi perubahan iklim. Fiksi iklim (climate fiction) namanya.

Orang yang dianggap sebagai pencetus nama climate fiction (cli-fi) adalah Dan Bloom. Dia seorang publisis dan mantan jurnalis yang pernah menamatkan studi Sastra Eropa Posmodern di Tufts University, Boston. Bloom sendiri tidak menulis novel, tetapi menggaungkan fiksi iklim lewat blog serta media sosialnya. Dia pun mengakui bahwa topik perubahan iklim sudah ada sejak lama sebelum dirinya memproklamasikan terminologi fiksi iklim. Dalam sebuah wawancara bersama Erica Eller, Bloom menyatakan,

For years, since the 1970s, authors have been writing novels with climate themes. But there was never a term for them. Since 2011, authors in the 21st century have been writing ‘climate change fiction,’ or what I dubbed as ‘cli-fi,’ a genre of literature that imagines the past, present, or future effects of climate change.”

Amanda Jones dalam “Climate Fiction” mencoba menguraikan beberapa karya sastra pada masa lampau yang sudah menyertakan topik perubahan iklim, seperti puisi “Darkness” oleh Lord Byron pada 1816 yang berbau apokalips, novel The Purchase of the North Pole (1889) karangan Jules Verne yang memuat penyalahgunaan sains, serta The American Claimant (1892) gubahan Mark Twain yang membicarakan iklim.

Ada yang beranggapan bahwa fiksi iklim merupakan perkembangan dari fiksi ilmiah. Memang, secara dominan keduanya sering mengedepankan cerita yang meramal masa depan, membicarakan hal-hal yang futuristik, dan memiliki latar distopia. Namun, lewat tulisan yang sama, Jones menegaskan bahwa fiksi iklim “secara ketat berfokus pada kekuatan alam, dan akibatnya, betapa tidak berdayanya semua makhluk hidup dalam menghadapi kekuatan tersebut.” Bagi Jones, fiksi iklim dapat juga berdiri sebagai fiksi ilmiah—meskipun tidak semua karya fiksi iklim adalah fiksi ilmiah dan sebaliknya.

Nama “fiksi iklim” tentu perlu dikaji lebih dalam lagi. Setidaknya, perlu batasan-batasan yang jelas antara fiksi iklim, fiksi ilmiah, dan fiksi fantasi lainnya. Terlepas dari penamaan yang kabur tersebut, upaya Dan Bloom semestinya dapat dilihat dari kacamata yang lebih besar, yakni tentang betapa gentingnya topik darurat iklim.

“​​Genre ini terus berkembang ketika para kritikus sastra mengemukakan pandangan mereka tentang apa itu fiksi iklim dan apa yang seharusnya atau bisa saya lakukan. Saya hanyalah pemandu sorak (cheerleader) untuk genre ini, praktisinya, dan para penulisnya. Saya mendengarkan. Saya tidak punya agenda apa pun, hanya membaca dan mendengarkan semua sudut pandang. Saya menduga bahwa 80 tahun ke depan, dari tahun 2020 hingga 2100, akan menjadi masa yang sangat penting bagi evolusi genre ini. Saya berharap bisa hidup untuk melihat ke mana arahnya, tetapi saya akan mati dalam sepuluh tahun lagi,” jelas Bloom.

Jika berita, artikel ilmiah, dan esai populer gagal memikat hati kita untuk menyadari kritisnya situasi iklim, karya fiksi mungkin dapat hadir sebagai gerbang yang ramah, apalagi dengan mengetahui bahwa pada 2019, survey YouGov mengeluarkan temuan mengenai masih banyak orang yang menilai bahwa faktor utama perubahan iklim bukanlah manusia. Di sisi lain, bahan bakar fosil terus dikonsumsi demi kelangsungan transportasi dan industri. Deforestasi tetap dilakukan untuk pembangunan yang tidak mempertimbangkan risiko keikliman.

Semoga makin banyak karya fiksi berkualitas yang dapat menggerakkan kita untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Perlu diingat, ini hanyalah pemantik, seperti yang disiratkan oleh penulis asal Amerika Serikat Jeff VanderMeer dalam “Climate Fiction Won’t Save Us” (2023), bumi tidak akan terselamatkan apabila kita sekadar membuat atau membaca karya fiksi iklim.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin