Artikel ini merupakan karya pemenang kedua Opera (Opini Kerabat Nara) 2024, sebuah lomba menulis opini yang diadakan oleh Narabahasa pada Agustus 2024.

 

Saya ingin bertanya terlebih dahulu. Pada hari-hari ini—masa yang diimani banyak orang sebagai puncak peradaban digital, manakah yang lebih Anda gunakan dalam membangun semangat membaca anak? Apakah buku digital atau buku cetak?

Perdebatan soal dampak signifikan buku digital dan cetak dalam menumbuhkan minat baca anak masih hangat sampai sekarang. Tiap-tiap kubu membela keutamaan dua jenis buku itu dengan alasan yang kuat. Bus, dkk. (2015), misalnya, memberikan dukungan untuk menumbuhkan semangat membaca anak lewat pemanfaatan buku digital. Hal tersebut berangkat dari temuan penelitian mereka yang menyatakan bahwa memanfaatkan mode visual maupun auditori yang disesuaikan dengan narasi pada buku digital dapat meningkatkan pemahaman anak atas substansi buku tersebut.

Kendati demikian, gagasan tersebut ditentang oleh Anne Mangen—akademisi Norway’s Stavanger University—lewat penelitiannya (dalam Tanner, 2014). Di situ, ia menangkap gejala bahwa membaca buku digital justru cenderung menekan daya tangkap anak atas substansi buku. Efek yang tak diinginkan ini tidak lepas dari kurangnya pengalaman sensorik anak saat membaca buku. Jika dioptimalkan, pengalaman sensorik memungkinkan mereka untuk memahami substansi buku secara mendalam melalui sentuhan dan penglihatan.

Namun, kembali ke masalah awal. Dalam rangka menumbuhkan semangat membaca anak, perbedaan pendapat di atas sepertinya makin memusingkan kita untuk menemukan satu basis metode yang efektif. Karenanya, untuk keluar dari masalah itu, saya ingin mengajak Anda untuk pertama-tama memikirkan ulang: Nilai apa yang sesungguhnya ingin kita berikan kepada anak melalui aktivitas membaca buku, baik buku digital maupun cetak?

Untuk menjawab itu, kita bisa terlebih dahulu mengingat sinisme Bernard Stiegler, filsuf kontemporer kenamaan asal Prancis. Mengutip Norton (2024), hal itu adalah “Rasa kita tentang siapa diri kita sesungguhnya (belakangan) diciptakan oleh perangkat yang kita miliki.” Dalam konteks diskusi ini, problem dalam menjadikan anak pembaca ulung pada dasarnya tidak terletak pada jenis buku. Sejalan dengan perkembangan zaman, kita tidak semestinya sekonyong-konyong mengempaskan satu pilihan yang dianggap usang hanya karena melihat pilihan lain yang lebih mutakhir dan memukau.

Lagi pula, pada satu sisi, apa faedahnya bagi kita untuk terburu-buru membuat anak terbiasa membaca buku digital? Apakah karena terdapat beberapa penelitian yang mendukung hal itu, seperti dari Bus, dkk. (2015)? Kalau memang begitu, apakah dengan demikian kita ingkar dengan apa yang disampaikan Mangen (dalam Tanner, 2014) mengenai dampak yang dihasilkan dari aktivitas membaca buku digital? 

Sungguhpun begitu, ketika kita terlampau berhati-hati dengan keberadaan buku digital, tidakkah ini menjadi semacam kemunduran dalam menatap dinamika peradaban? Kendati pemahaman Bus, dkk. masuk akal untuk ditentang Mangen, gagasan mereka sama-sama berangkat dari sintesis beberapa studi eksperimental yang tak bisa kita abaikan begitu saja.

Maka, kita harus bersama-sama memahami bahwa perkembangan yang simultan antara buku digital dan cetak justru membuat anak terus terekspos pada kehadiran buku. Buku—apa pun bentuknya—merupakan media yang harus kita manfaatkan perannya sebagai penyuplai pengetahuan dan katalisator daya imajinasi anak lewat konten-konten yang dikandungnya.

Bersama buku cetak, anak-anak mendapat “bonus” untuk melatih konsentrasi dalam menelaah informasi lewat sentuhan. Ini belum termasuk manfaat membina aspek empati dan rasa tanggung jawab dengan merawat koleksi buku cetak supaya tidak rusak. Kedalaman emosional menjadi kualitas kunci yang didapat anak dari interaksinya dengan buku cetak.

Sementara itu, jika dihadapkan dengan buku digital, anak-anak dapat menemukan kekhasan pengalaman belajar secara virtual sembari menikmati judul-judul yang tak bisa mereka temukan di toko buku luring. Keberadaan buku digital juga rasanya tidak terdengar buruk jika Anda mengenalkannya sebagai “teman baru” untuk menggantikan konten-konten lain, seperti serial Skibidi Toilet di media sosial.

Dus, begitulah alur berpikir untuk menjadikan anak pembaca buku berjiwa pascadigital. Dengan menjadi pembaca buku berjiwa pascadigital, anak tak lagi merisaukan format buku dan lebih berupaya mencari titik kebangkitan intelektualitas dan emosional pada setiap jenis buku sambil menikmati “bonus” yang ditawarkan tiap-tiap buku itu.

 

Referensi:

Bus, A. G., Takacs, Z. K., & Kegel, C. A. 2015. “Affordances and limitations of electronic storybooks for young children’s emergent literacy”. Developmental Review, 35, 79-97.

Norton, B. 2024. Bernard Stiegler’s philosophy on how technology shapes our world. Aeon. Diakses pada 6 September 2024. 

Tanner, M. J. 2014. “Digital vs. print: Reading comprehension and the future of the book”. School of Information Student Research Journal, 4(2), 6.

 

Penulis: Faudyan Eka Satria
Penyunting: Rifka Az-zahra