Dalam kelas Pengantar Sastra Indonesia pada 2014, dosen saya berkata bahwa jika buku yang sedang kita baca tidak menggugah selera, kita tidak usah melanjutkan membaca. “Bakar saja kalau perlu.” Saya ingat betul kalimatnya yang terakhir ini. Tentu, beliau tidak sungguh-sungguh mendorong mahasiswanya untuk bermain bakar-bakaran. Saya anggap hal itu sebagai tanda untuk tidak melanjutkan apa pun yang tidak memenuhi hati selagi kita punya kesempatan untuk berhenti.
Kalimat dosen saya teringat kembali ketika saya memutuskan untuk menunda pembacaan saya terhadap One Hundred Years of Solitude (1967), salah satu novel mendunia yang ditulis oleh Gabriel Garcia Marquez, pengarang asal Kolombia. Saya membaca novel ini, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Gregory Rabassa, sejak paruh awal 2023.
Bayangkan, saya pernah hanya dapat membaca lima halaman dalam setengah jam. Saya sibuk membuka kamus untuk mengartikan paragraf-paragraf di dalamnya. Itu pun banyak juga yang gagal saya pahami. Atas dasar itu, saya membulatkan tekad untuk menutup buku tersebut, yang baru tuntas setengahnya, dan berencana untuk membeli terjemahan bahasa Indonesianya.
Ya, seperti rencana manusia pada umumnya, tidak semua rencana itu terlaksana. Membeli One Hundred Years of Solitude versi bahasa Inggris saja sudah cukup menguras kocek. Sekarang, saya mesti mengalokasikan sekian rupiah lagi untuk mengulang pembacaan demi pemahaman yang lebih utuh dalam versi bahasa Indonesia.
Mungkinkah bukan saya seorang yang merasakan hal ini, yakni “membakar buku” yang tidak menyenangkan hati kita; yang tidak menggairahkan minat baca kita?
Berbicara tentang Rendahnya Minat dan Akses Membaca
Saya rasa kita sudah sering mendengar bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Data-data yang dikeluarkan menyatakan demikian. Meskipun begitu, beberapa orang telah berupaya menyanggah penilaian tersebut. Salah satunya adalah perkara akses. Menurut para penyanggah, minat baca tidak rendah, tetapi akses terhadap bacaan berkualitaslah yang belum merata.
Alhasil, membaca adalah aktivitas yang mewah, penuh privilese, seperti yang dinyatakan oleh Sebastian Partogi (2023): “First of all, when we’re talking about reading, we’re talking about privilege. Access to books is highly concentrated in the Java island, particularly in Jakarta. Many parts of Indonesia do not have public libraries. Major bookstores exist only in capital cities. And again, what good can come from bookstores when you don’t have money to even buy books?”
“Sebenarnya minat baca tinggi, tetapi aksesnya minim, bahkan sampai enggak ada. Itu yang akhirnya membuat orang-orang terlena dengan membaca yang ‘ya udah [membaca] kalau buku ada aja’ …. Gimana mau baca? Bukunya enggak ada,” kata Adi Sarwono, inisiator gerakan literasi Busa Pustaka di Provinsi Lampung.
Terlebih, mempunyai akses terhadap toko buku tanpa uang yang cukup untuk membeli judul kesukaan kita juga makin menegaskan bahwa yang beruang yang dapat membaca.
Dalam tulisan yang sama, Sebastian juga menulis bahwa bukan hanya akses bacaan berkualitas yang dapat menentang proposisi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Yang juga berperan penting dalam pembentukan kebiasaan membaca adalah sistem kurikulum di sekolah.
Saya dan beberapa teman yang berasal dari sekolah yang berbeda tidak terbiasa untuk membaca karya sastra dan menulis esai mendalam mengenainya pada bangku SMA. Saya ingat bahwa Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang menjemukan saat itu. Namun, pada saat yang sama, ketika berhadapan dengan soal cerita, saya kewalahan untuk menerapkan pembacaan kritis. Dalam tes atau peringkat kemampuan membaca, khususnya membaca teks panjang, Indonesia tergolong negara dengan posisi yang rendah.
Semoga Tidak Menjadi Snob: Membaca Kritis Menumbuhkan Empati
Apabila minat baca masih tergolong rendah, kemampuan membaca secara kritis mungkin jauh lebih rendah lagi. Bahkan, tingginya minat baca seseorang tidak dapat menjamin ketajaman berpikirnya. Level kekritisan yang baik, kita mesti sepakati, akan berpengaruh pada perilaku yang tidak menghakimi pendapat orang lain dengan mentah-mentah, tidak rasis, diskriminatif, dan merasa paling benar. Percayalah, seseorang yang begitu kaya akan referensi bisa menjadi snob yang amat menyebalkan.
Dengan membaca kritis, seseorang dapat menumbuhkan empati untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Barangkali, dalam contoh yang nyata lainnya, kemampuan membaca kritis dapat menyelamatkan kita dari berita hoaks dan judul-judul umpan klik (clickbait).
Saat ini, khususnya di tempat saya tinggal, klub buku mulai bertumbuhan. Aktivitas untuk membaca bersama-sama di taman juga kerap digelar. Kemudian, di media sosial, toko-toko buku kecil yang menjaja sederet buku berkualitas juga hadir, lengkap dengan acara-acara luring yang diadakan demi menggencarkan semangat kita untuk membaca buku.
Kalau Kerabat Nara percaya tentang rendahnya angka minat baca masyarakat kita, silakan saja. Mungkin ada benarnya. Namun, saya yakin, angka itu berangsur membaik. Semoga perbaikan itu seturut dengan kemampuan membaca kita: kaya referensi, paham dengan komprehensif, serta tidak merasa paling benar dengan merendahkan orang lain.
Rujukan:
- Anugerah, Pijar. 2023. “Gerakan baca buku menjamur di tengah tuduhan literasi rendah, tapi apa itu cukup?”. BBC News Indonesia. Diakses pada 28 September 2023.
- Partogi, Sebastian. 2023. “The real reasons why most Indonesians don’t like to read”. Arts Call Indonesia. Diakses pada 28 September 2023.
- ______________. 2023. “Why even bother reading, when reading is such a useless activity”. Arts Call Indonesia. Diakses pada 28 September 2023.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin