Pemilu 2024 sudah di depan mata. Saat ini, berita di media massa, cuitan netizen, dan reklame di jalanan sudah mulai sesak dengan tema politik. Tidak jarang, karena banyaknya informasi yang simpang siur, kita jadi bingung untuk memilih siapa pada hari pencoblosan nanti. Barangkali, sebagian besar generasi muda turut merasa demikian, apalagi jika sejauh ini tidak pernah tertarik untuk mengikuti dunia politik yang geliang-geliut.

“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa,” kata Romo Franz Magnis-Suseno. Sumber asli pernyataan itu sulit ditemukan. Namun, terlepas dari siapa pun yang mengutarakannya, saya sepakat. Agaknya, sukar untuk memilih pemimpin yang terbaik. Maka, mencegah yang terburuk untuk berkuasa merupakan salah satu cara dalam menentukan pilihan. Artinya, yang dapat dilakukan ialah menentukan siapa yang terburuk dan tidak memilihnya.

Untuk menilai keburukan, saya rasa setiap kita andal melakukannya. Toh, kita sudah terbiasa membicarakan keburukan orang lain, mengujarkan kebencian, dan sebagainya.

Tidak, saya tidak mengundang Kerabat Nara sekalian untuk berbuat begitu. Saya mengajak Kerabat Nara untuk memanfaatkan karya sastra sebagai rujukan. Dalam beberapa novel Indonesia, terdapat gambaran pemimpin yang menggerakkan sebuah zaman. Dari situ, kita sedikit banyak bisa mendapatkan inspirasi tentang seperti apa pemimpin yang buruk bagi negara kita.

Novel yang saya lihat cukup dikagumi anak muda saat ini adalah Laut Bercerita (2017) karya Leila S. Chudori. Dengan dibalut kisah persahabatan dan percintaan, novel ini menggambarkan getirnya Reformasi ’98 di Indonesia.

Selain itu, Bumi Manusia (1980) juga dapat kita baca sebagai gambaran zaman yang feodal. Bagusnya, novel Pram yang satu ini telah diangkat menjadi film dan dapat disaksikan di Netflix. Memang, filmnya condong menceritakan kisah cinta Minke. Namun, ini bisa menjadi gerbang pendorong penonton untuk turut membaca bukunya agar mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap.

Saya pun merekomendasikan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini mengangkat salah satu peristiwa kelam yang pernah terjadi di Indonesia, menyoal propaganda, pembantaian, dan pengasingan beberapa kelompok—yang tidak boleh terulang kembali. Kita butuh pemimpin yang baik untuk memastikan hal tersebut.

“Bacaan baik dapat menginspirasi pemilih muda untuk berpikir tentang peran mereka dalam membangun masa depan politik yang bermartabat. Sastra mengajak pembaca merenungkan perubahan dan perkembangan politik dan masyarakat serta hubungannya dengan sejarah bangsa. Dilema etika yang dihadapi tokoh-tokoh dalam cerita membantu kaum muda berefleksi tentang kehidupan nyata, termasuk pilihan politik,” tulis Novita Dewi, seorang guru besar bidang sastra di Universitas Sanata Dharma. Beberapa karya sastra dapat membantu kita untuk mengetahui apa yang kita tidak mau, yakni pemimpin yang zalim.

 

Rujukan

Dewi, Novita. 2023. “Sastra dan Pendewasaan Etos Politik Pemuda Indonesia”. Kompas.id. Diakses pada 7 November 2023.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin