Jika Kerabat Nara hendak bersantai pada akhir pekan dan ingin membaca tulisan-tulisan ringan yang mencerahkan, buku Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur yang Absen karya Eko Endarmoko dapat menjadi pilihan. Meskipun memuat frasa polisi bahasa yang terkesan berat nan provokatif pada judul, buku tersebut tidak mengungkit secara tajam dan pelik tentang para “polisi” dalam ranah kebahasaan. Sebaliknya, Polisi Bahasa menyajikan pembahasan ringkas mengenai persoalan kebahasaan di sekitar kita dengan cara yang cukup menggelitik.
Buku yang terbit pada 2019 ini memuat enam puluh artikel pendek. Keenam puluh artikel itu telah dimuat dalam beberapa media massa dan satu majalah, yaitu Beritagar (50 tulisan), Kompas (7 tulisan), Tempo (2 tulisan), dan Majas (1 tulisan). Tulisan-tulisan tersebut dikelompokkan menjadi empat bab: “Bahasamu Kastamu”, “Soal Klise”, “Keder”, dan “Kasus Ajaib”.
Ada banyak bahasan menarik dalam Polisi Bahasa. Salah satu hal yang membuatnya demikian adalah suguhan segar atas pandangan Endarmoko dalam menganalisis suatu topik kebahasaan. Misalnya, dalam artikel “Anda Besar atau Kecil?”, ia mempertanyakan penulisan kata ganti anda yang harus diawali dengan huruf kapital. Katanya, “Di antara sekian banyak kata ganti orang kedua tunggal, mengapa anda yang terpilih dan kemudian, entah oleh siapa, didaulat sebagai bentuk hormat?”
Untuk hal tersebut, Endarmoko mengajukan sebuah argumen bahwa tidak ada alasan jelas untuk tidak menggunakan huruf awal kapital pada kata ganti orang kedua tunggal lain, seperti sampeyan (sic) dan ente (sic). Penolakan pengapitalan terhadap sampeyan dan ente serta pembolehan terhadap anda menunjukkan sikap sewenang-wenang, menurutnya.
Saya pikir, argumen tersebut sangat mungkin untuk diperdebatkan. Sama halnya dengan pendapatnya dalam tulisan “Jodoh Kata”. Di situ, ia mengatakan bahwa pembentukan ungkapan muka tembok dan kitab suci berawal dari pilihan serampangan.
“Itulah jodoh kata yang bermula dari pilihan serampangan, tapi kemudian, setelah melampaui rentang waktu sekian lama, mendapat pengukuhan dari kesepakatan bersama para penutur bahasa.” (hlm. 118)
Apakah benar begitu? Bisa jadi. Namun, menurut saya, pembentukan ungkapan itu tidak serampangan. Kata tembok, alih-alih dinding, digunakan karena memiliki kesan atau makna “rendah”. Kata itu cocok mendampingi muka yang bernilai rasa sejajar. Apalagi, jika melihat fungsinya, ungkapan tersebut lebih sering digunakan untuk mengolok-olok atau memaki. Bukankah aneh jika kita mengolok-olok dengan ungkapan wajah dinding—yang justru terasa puitis? Bukankah, seperti pertanyaan retorik Endarmoko dalam “Me-rupa-kan”, tidak ada dua kata yang maknanya seratus persen sama?
Meskipun demikian, saya rasa, kita dapat sepakat dengan pernyataannya dalam tulisan “Pura-Pura dalam Perahu”. Di sana ia menjelaskan kemampuan nenek moyang dalam mengonstruksi ungkapan, seperti peribahasa, sebagai teguran, kritik, nasihat, atau ajaran tentang adab secara tersirat. Menurut Endarmoko, secara umum, bentuk peribahasa itu disusun dalam bahasa Indonesia—atau mungkin lebih tepatnya Melayu—yang baik atau tertib. Hal tersebut menunjukkan kepiawaian nenek moyang dalam pengolahan bahasa. Selain itu, terdapat cara mengkritik yang khas oleh mereka, yakni penghindaran atas bentuk frontal. Bahasa tersirat yang mereka gunakan berfungsi sebagai siasat untuk menjaga hubungan sosial.
Dalam buku ini, Endarmoko juga membahas tata bahasa. Contohnya, pada tulisan “Ibadah Puasa yang Bisa Berjalan”, ia mempersoalkan imbuhan (afiks) me-i dan me-kan yang kerap dipertukarkan, seperti dalam kalimat Demonstran melempari batu ke barisan polisi. Kalimat itu tidak logis karena berarti yang dilempari oleh demonstran adalah batu, bukan barisan polisi. Agar logis, kalimat di atas dapat diubah menjadi Demonstran melemparkan batu ke barisan polisi atau Demonstran melempari barisan polisi dengan batu.
Penggunaan imbuhan me-i dan me-kan terkadang membuat kita bingung. Akan tetapi, Endarmoko mempunyai cara mudah untuk membedakannya, yaitu objek pada kata kerja berakhiran –kan itu bergerak, sedangkan pada kata kerja berakhiran –i bergeming.
Selain yang saya sampaikan di atas, masih banyak lagi hal yang dibahas dalam buku Polisi Bahasa, seperti kekurangperluan swarabakti dalam bahasa Indonesia, kemunculan sinestesia, dan kekompleksan konsep antonim. Cukup menarik, ‘kan, untuk menemani akhir pekan Kerabat Nara, terutama ketika pagi?
Taruh buku ini di samping Kerabat Nara sebelum tidur pada malam hari kerja terakhir. Sewaktu Kerabat Nara membuka esoknya, sapa dengan ucapan “Selamat pagi, Polisi Bahasa!” Nah, Kerabat Nara dapat segera membacanya dan tidak perlu lagi meladeni polisi bahasa di media sosial. Eh?
Penulis : Harrits Rizqi
Penyunting : Ivan Lanin