Apa Salahnya Jadi Guru setelah Lulus?
Dahulu, ketika masih menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, saya tidak asing dengan pertanyaan, “Nanti setelah lulus kuliah, (kamu) akan jadi guru, ya?” Pertanyaan itu disampaikan dengan berbagai nada dan sebagian besarnya merendahkan.
Saya ingat suatu kejadian ketika tahun pertama berkuliah. Kala itu, saya baru turun dari Stasiun Lenteng Agung. Saya pun segera memesan ojek daring. Dalam perjalanan, demi membunuh sepi, obrolan pun berlangsung. Si pengemudi bertanya tentang asal, tujuan, hingga apakah saya bekerja atau berkuliah. Saat saya jawab berkuliah, pertanyaan lainnya pun bergulir: “Kuliah di mana?”, “Sudah semester berapa?”, “Fakultas apa?”, dan “Jurusan apa?” Yang menarik—dan sering terjadi—adalah, ketika saya sontak menyebutkan jurusan, pertanyaan awal yang saya sebutkan dalam tulisan ini segera terucap oleh si lawan bicara. Antusiasme dalam bertanya pun hilang dan tidak jarang tuturan setelahnya terdengar lebih basa-basi dibandingkan sebelumnya.
Kejadian seperti itu tidak hanya saya alami bersama pengemudi ojek daring. Beberapa kali saat berbicara dengan orang asing lain mengenai jurusan, saya mendapatkan respons serupa. Bahkan, tidak jarang saya akan diceramahi tentang betapa kurang menarik dan relevannya jurusan saya dengan apa yang dibutuhkan dunia modern saat ini.
Pada masa awal menjadi mahasiswa, dengan semangat yang menggebu-gebu, saya akan menjelaskan dengan detail mengenai jurusan saya: apa yang dipelajari, prospek kerja, hingga fakta-fakta uniknya. Tidak peduli lawan bicara saya mengerti atau tidak, saya tetap akan menjelaskannya.
Saya pun teringat akan lelucon yang ditujukan khusus untuk fakultas saya—Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)—dalam yel-yel saat kompetisi seni, olahraga, dan ilmiah tingkat universitas di kampus. Yel-yel itu berbunyi, “Mana di mana pengangguran kita? Pengangguran kita ada di FIB.” Namun, berbeda dengan konteks sebelumnya, saya tidak merasa tersinggung dan justru tertawa. Saya juga melihat tidak ada satu pun mahasiswa FIB yang tersinggung karena yel-yel tersebut.
Saat memasuki semester enam, terdapat mata kuliah tentang wacana. Salah satu materinya adalah mengenai tindak tutur. Dalam berkomunikasi, terdapat beberapa jenis tindak tutur yang biasanya dilakukan. Teori tindak tutur ini diperkenalkan oleh Austin (1962). Ia mengatakan bahwa kalimat sering dipakai untuk memberitakan keadaan. Oleh sebab itu, pengucapan kalimat tertentu dalam keadaan tertentu harus dianggap sebagai pelaksanaan suatu tindakan. Austin membagi tindak tutur menjadi tiga jenis, yakni tindak lokusi (menyatakan sesuatu tanpa maksud tertentu), ilokusi (menyampaikan sesuatu, tetapi mengandung makna tersembunyi), dan perlokusi (menyampaikan sesuatu dan mengharapkan ada tindakan). Penjelasan itu membuat saya memahami mengapa saya (mungkin) tersinggung dalam situasi pertama dan kedua serta santai dalam menghadapi situasi ketiga.
Dalam konteks tuturan mengenai jurusan serta profesi guru, saya merasa tindak tutur semacam itu telah menjadi tindak tutur ilokusi, yakni tindak tutur yang mengandung makna tersembunyi atau makna lain yang dikehendaki oleh penutur terhadap mitra tutur. Bagi saya, pertanyaan tersebut secara tidak langsung telah merendahkan profesi guru dan jurusan saya. Penuturnya mungkin tidak mengharapkan adanya tindakan, seperti menjelaskan dengan detail perkara jurusan layaknya yang saya lakukan. Namun, karena tuturan tersebut dirasa memiliki makna tersembunyi, yakni merendahkan, saya berusaha keras mencoba meluruskan persepsi mereka mengenai jurusan kesusastraan, terutama Sastra Indonesia. Padahal, setelah dipikir-pikir lagi, belum tentu juga apa yang saya jelaskan dapat dipahami dengan baik, ya. Hehehe.
Berbeda dengan konteks sebelumnya, situasi yel-yel ejekan dalam perlombaan tingkat universitas merupakan tindak tutur perlokusi, yakni tindak tutur yang memang menghendaki adanya efek atau hasil dari sebuah tuturan. Yel-yel tersebut memang dilontarkan untuk dibalas dengan yel-yel lainnya dengan tujuan saling menghibur dan meramaikan suasana perlombaan. Tidak ada makna tersembunyi khusus yang berusaha untuk disampaikan sehingga mitra tuturnya pun tidak terpancing untuk menjelaskan apa pun kepada penuturnya.
Kembali lagi ke pembahasan mengenai guru, sebenarnya saya tidak begitu ambil pusing mengenai perkara saat lulus akan menjadi guru. Sejak kecil, cita-cita saya memang ingin menjadi guru. Namun, yang mengganggu pikiran saya adalah makna tersembunyi yang saya tangkap dalam tuturan di atas—yang menyiratkan bahwa guru adalah profesi yang remeh-temeh. Padahal, menurut saya, menjadi guru juga bukan pekerjaan yang mudah. Semua orang bisa saja pintar, tetapi tidak semua orang cakap dalam menularkan kepintarannya kepada orang lain, ‘kan?
Saya juga ingat. Dalam salah satu lirik lagu, disebutkan bahwa guru bak pelita, penerang dalam gulita, jasamu tiada tara. Bukankah itu artinya guru merupakan profesi yang mulia dan pekerjaannya tidak mudah sehingga jasanya disebut tiada tara?
Pada zaman teknologi yang serbabisa saat ini, profesi guru juga telah merambah dalam berbagai rupa. Sebutan guru tidak lagi hanya ditujukan untuk orang yang mengajar di sekolah dan harus bertemu secara luring. Guru pun telah menjelma dalam kelas-kelas nonformal dengan metode pengajaran yang interaktif dan beragam. Jadi, apakah masih relevan memandang profesi guru sebelah mata saja? Saya rasa tidak dan seharusnya memang tidak pernah dipandang sebelah mata.
Oleh karena itu, saya sangat senang ketika Narabahasa membuka Audisi Widyaiswara. Menurut KBBI V edisi daring, widyaiswara berarti ‘guru’. Audisi Widyaiswara merupakan program perekrutan terbuka bagi masyarakat Indonesia yang memiliki renjana untuk mengajar dalam bidang bahasa. Terdapat dua kategori widyaiswara, yakni widyaiswara umum dan widyaiswara spesialis. Widyaiswara umum terdiri atas Widyaiswara Gramatika dan Ejaan, sedangkan widyaiswara spesialis terdiri atas Widyaiswara Bahasa Kreatif, Widyaiswara Bahasa Jurnalistik, Widyaiswara Bahasa Bisnis, Widyaiswara Bahasa Ilmiah, dan Widyaiswara Bahasa Hukum. Pendaftarannya dibuka dari 24 Mei—7 Juni 2021. Masih ada waktu untuk mendaftar, lo, Kerabat Nara. Yuk, jangan mau ketinggalan dan mari kita buktikan bahwa guru adalah profesi yang menyenangkan dan menjanjikan. Lagi pula, apa salahnya menjadi guru?
Bagaimana tanggapan Kerabat Nara?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Artikel & Berita Terbaru
- Keterampilan yang Dibutuhkan Penulis Wara
- Empat Unsur Gramatika sebagai Kunci Kemampuan Menata Tulisan
- Bahan Pertimbangan sebelum Mengirim Artikel ke Jurnal
- Bjir dan Bjrot
- Penulisan Infografik yang Mencakup Semua Hal
- Berbahasa Indonesia, Sulit atau Mudah?
- Pola Frasa dalam Bahasa Kita
- Kelas Perdana Penulisan Skenario dalam Produksi Video
- Penulisan Mikrokopi UX yang Ramah Pengguna
- Kiat Penyusunan Dokumen untuk Konsultan Proxsis
- Penyunting yang Tak Sama dengan Penguji Baca
- Mengenal Penulisan Artikel dan Esai Lebih Dalam