Bulan lalu, seorang rekan kerja saya, Yudhistira, menulis sebuah artikel berjudul “Membaca Novel, Memperkaya Kosakata“. Pada tulisan itu, ia mencatat kata-kata yang baru baginya dari lima novel, yaitu Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, Saman karya Ayu Utami, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom. Pencatatan kata-kata baru itu tidak dapat dilepaskan dari hobinya, yaitu membaca. Menurutnya, “Apabila membaca adalah urusan menangkap, mencatat adalah perkara mengingat.”
Saya pun memiliki hobi yang sama dengannya. Oleh karena itu, pada artikel ini, saya juga akan mencatat kata-kata dari beberapa novel yang sudah saya baca. Kata-kata ini mungkin sudah atau bahkan belum Kerabat Nara tahu. Yang jelas, kata-kata berikut baru saya tahu ketika saya membaca novel yang memuatnya.
- Kura-Kura Berjanggut (2018)
Novel karya Azhari Aiyub ini terdiri atas 960 halaman yang penuh dengan petualangan kesejarahan. Sejumlah halaman itu termasuk bagian “Glosari”, “Ucapan Terima Kasih”, dan biodata penulisnya. Konflik-konflik yang terjadi di Kesultanan Lamuri dan sekitarnya—tentang merica, kelompok Kura-Kura Berjanggut, pertandingan gajah, kudeta kesultanan, perbudakan, dan sebagainya—dirangkai dengan sangat mendetail dalam novel yang mulai dikerjakan pada pertengahan 2006 ini. Lantas, jika ditanya soal bagian favorit saya, permainan catur antara Asoekaya dan Anak Haram adalah jawabannya. Saya kagum karena mereka memanfaatkan permainan catur di dalam penjara sebagai bahasa komunikasi penyusunan strategi untuk melakukan kudeta.
Dengan membaca Kura-Kura Berjanggut, saya mengetahui banyak istilah pelayaran, seperti hibob—yang ditulis menghibob dalam novel, keliti, cakar setan, dahi layar, jung, kerakah, mengandak, menganggul, mistri, temberang, topas, dan menyerunda. Berdasarkan kata-kata tersebut dan penggunaannya yang baik dalam novel, kita dapat memahami bahwa Aiyub memiliki pengetahuan luas mengenai pelayaran. Tema yang ditampilkan pun makin kukuh karena seluruhnya berkolokasi atau memiliki hubungan erat dalam lingkungan yang sama. Oleh karena itu, tidak mengherankan bagi saya bahwa novel ini menjadi pemenang dalam Kusala Sastra Khatulistiwa 2018.
- Ziarah (2017)
Saya perlu membaca dua kali untuk setidaknya cukup mengerti isi dan kronologi novel yang pertama kali terbit pada 1969 ini. Novel yang mengadopsi gaya aliran nouveau roman ini ditulis oleh Iwan Simatupang, seorang penulis yang jalan hidupnya sangat unik, bahkan mendapat julukan “manusia hotel”. Karena keunikannya, saya pun pernah sengaja menelusuri surat-surat pribadinya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta. Penelusuran itu saya tulis dalam blog pribadi saya dengan judul “Iwan Simatupang“.
Novel bertema eksistensi manusia ini setidaknya memuat dua kata serapan yang berasal dari bahasa Prancis, yaitu milieu ‘lingkungan’ dan impase ‘kesulitan yang seolah-olah tidak terpecahkan; jalan buntu’. Ada pula satu kata arkais, yaitu sep ‘kepala (kantor, stasiun, dan sebagainya)’. Selain itu, Simatupang juga menggunakan istilah snob dan snobisme yang berkaitan dengan ‘peniru—atau di sisi lain dapat juga sebagai penghina—gaya orang lain’.
Bagi Kerabat Nara yang penasaran akan isi novel ini, segera baca, baik melalui pembelian maupun peminjaman. Jika perlu bantuan pemaknaan setelah membacanya, Kerabat Nara dapat membaca buku Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang (1991) tulisan Okke K.S. Zaimar.
- Bumi Manusia (2006)
Mungkin Kerabat Nara sudah tidak asing dengan karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali terbit pada 1980 ini. Novel pembuka tetralogi Buru ini begitu terkenal, bahkan telah diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Perjalanan Minke (sang tokoh utama) dalam menemukan jati diri dan memupuk nilai-nilai berbudi yang diyakininya dimulai dari Bumi Manusia.
Novel yang versi Inggris-nya berjudul This Earth of Mankind ini memuat beberapa istilah asing, seperti zincografi ‘zinkografi’, philogynik ‘filoginis’, phonograf ‘fonograf’, dan ethymologi ‘etimologi’. Jika diperhatikan lebih saksama, Toer tidak sepenuhnya memakai ejaan asing pada istilah-istilah tersebut. Lihat bagian yang saya tebalkan pada istilah asing itu. Bukankah ejaannya seperti bahasa Indonesia? Saya pun menduga-duga, mungkin itu adalah simbol pengindonesiaan yang ingin diungkapkan Toer. Untuk dugaan itu, diperlukan studi lebih lanjut.
Bumi Manusia juga memuat istilah-istilah lama, seperti sinyo, tauke, opas, dan pokrol. Selain itu, ada pula kata panembrama, tarcis, semenda, lelatu, mursal, mengigal, skisma, alfalfa, dan soga.
Dari tiga novel tersebut, kita dapat belajar bahwa tiap penulis memiliki pengetahuan luas mengenai kosakata. Hal itu dapat menjadi salah satu cara untuk membuat karya yang menarik dan berwarna. Namun, bukan sembarang kata dapat dimasukkan, melainkan yang memang diperlukan.
Penulis : Harrits Rizqi
Penyunting : Ivan Lanin