Kemarin malam, saya menuntaskan satu buku kumpulan cerpen karya Linda Christanty, yakni Kuda Terbang Maria Pinto. Ini pertama kalinya saya membaca buku beliau. Buku yang terbit pada 2004 ini memuat 12 cerpen. Bagi saya, setiap cerpennya meninggalkan kesan rasa yang janggal, tidak enak. Namun, rasa tidak enak itulah yang sepertinya akan selalu terkenang dari Kuda Terbang Maria Pinto.
Yang menarik dari kumpulan cerpen ini, saya kira, adalah imajinasi sang penulis dalam menghadirkan dunia yang ajaib, tepatnya dalam “Kuda Terbang Maria Pinto” dan “Qirzar”. Di sini, ada kuda terbang, tubuh telanjang yang transparan—sehingga jantung, usus, dan paru-paru dapat terlihat, madu bunga yang dapat diminum untuk menghapus ingatan, serta orang-orang bersayap.
Tentu saja, dalam dunia nyata, kita tidak dapat menjumpai hal-hal tersebut. Maka dari itu, daya khayal saya sebagai pembaca bekerja cukup keras. Bagaimana rupa kuda yang bisa terbang, tubuh yang transparan, madu bunga penghilang ingatan, dan manusia bersayap? Saya bahkan mengulang beberapa kalimat ketika sedang membaca supaya tidak terdistraksi.
Daya khayal, dalam pemaparan Gorys Keraf (2007), adalah salah satu ciri dalam narasi sugestif. “Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca,” tulis Keraf. Ciri lain dari narasi sugestif adalah amanat yang tersirat, penalaran yang tidak begitu dominan, serta penggunaan bahasa figuratif dan konotatif.
Perlu diketahui, narasi sugestif dibedakan dengan narasi ekspositoris. Narasi ekspositoris bertujuan memperluas pengetahuan pembaca, sifatnya lebih eksplisit dan informatif. Buku-buku nonfiksi, contohnya, memanfaatkan teknik narasi ekspositoris. Sementara itu, narasi sugestif lebih sering kita temui dalam karya fiksi.
Keraf pun menjelaskan bahwa titik ekstrem narasi sugestif adalah sebuah dongeng. Kita dapat bertemu peri, raksasa, dan dunia sihir. Bagi saya, Linda Christanty memanfaatkan unsur dongeng dalam dua cerpen pada Kuda Terbang Maria Pinto, suatu semesta yang sudah lama tidak saya temui dalam buku.
Pembahasan ini akan menjadi menarik jika kita menyebut cerpen Linda sebagai dongeng dan menyandingkannya dengan cerita-cerita Barat yang saya saksikan sewaktu kecil, seperti kisah Cinderella, Putri Salju, atau Pinokio. Kita harus berani bertanya, apakah dongeng hanya dibuat untuk anak-anak? Pada mulanya, saya akan mengiakan. Jika demikian, berarti cerpen Linda tidak dapat dikategorikan sebagai dongeng sebab ini bukanlah bacaan untuk anak-anak.
Namun, pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan film-film Marvel? Apakah mereka merupakan dongeng yang disajikan untuk anak-anak? Lebih tepatnya, apakah selama ini kita punya batasan yang jelas mengenai dongeng?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan yang juga mengganggu benak saya, ada baiknya saya melakukan riset terlebih dahulu. Semoga pada artikel berikutnya, kita bisa mendapatkan sedikit pencerahan mengenai dongeng.
Rujukan:
- Christanty, Linda. 2004. Kuda Terbang Maria Pinto. Jakarta: Katakita.
- Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin