Dengan dilansirkan dalam situs web mereka, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan surat pemberitahuan kepada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Surat tersebut memuat daftar lagu dengan lirik yang berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Ketika membaca pedoman tersebut, saya menemukan dua pasal yang rasanya relevan dengan perhatian KPI. Berikut saya kutipkan.

 

Bab X

PERLINDUNGAN KEPADA ANAK

Pasal 14

(1) Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. 

(2) Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

BAB XII

PROGRAM SIARAN BERMUATAN SEKSUAL

Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual.

Di luar dua pasal tersebut, berdasarkan berita dari CNN, KPI juga menyorot daftar lagu yang memuat kata-kata kasar dan mengarah pada penggunaan narkoba.

KPI lantas mengimbau PRSSNI untuk menyunting atau menyiapkan versi radio edit terhadap 42 lagu. Namun, jika tidak dapat disunting ulang, lagu-lagu tersebut harus diputar di atas pukul 22.00. Harapannya, anak-anak sebagai pendengar radio tidak terkontaminasi dengan lagu-lagu yang memuat lirik berbau seks dan kecabulan. 

Yang saya herankan, tidak ada lagu nasional yang disertakan dalam senarai lagu tersebut. Maroon 5, Bruno Mars, Ariana Grande, Snoop Dogg, dan Eminem adalah beberapa artis mancanegara yang akan dianggap membawa dampak buruk apabila beberapa lagunya diputar pada jam tayang utama atau prime time. Pertanyaan saya, apakah betul tidak ada lagu-lagu Indonesia yang berpotensi menimbulkan dampak serupa?

Sebutlah “Surti Tejo”, lagu karya Jamrud yang berlirik Jemari Tejo mulai piknik dari wajah sampai lutut surti/ Tanpa sadar sarung mereka pun jadi alas/ Mirip demo memasak/ Tejo mulai berakting di depan Surti/ Masang alat kontrasepsi. Buat saya, larik-larik tersebut jelas menggambarkan sebuah adegan yang erotis. Pada lain sisi, “Versace on the Floor” gubahan Bruno Mars yang termasuk ke dalam sorotan KPI, berlirik So just turn down the lights/ And close the door/ Oooh I love that dress/ But you won’t need it anymore/ No you won’t need it no more/ Let’s just kiss ‘til we’re naked, baby.

Sepengetahuan saya, Bruno Mars memang banyak menulis lagu-lagu yang genit. “The Lazy Song” pun termasuk ke dalam pantauan KPI, barangkali karena larik ini: Meet a really nice girl, have some really nice sex/ And she’s gonna scream out “This is great” (Oh my god, this is great) Yeah! 

Apakah ada lagu-lagu lain yang dibuat oleh anak bangsa dan mengandung lirik-lirik kenes? Tentu saja. Coba dengarkan “Mari Berdansa” dari Aura Kasih yang salah satu baitnya terdengar begini: Kamu inginkan aku/ Peluk aku (peluk aku)/ Cium aku (cium aku)/ Kamu inginkan aku/ Ingin bercinta denganku. Kemudian, apabila kita menikmati gaya musik dangdut, lirik-lirik vulgar berbau seksual tentu sudah menjadi bumbu pasti yang siap disantap.

Fungsi Emotif dan Puitis dalam Bahasa

Lirik adalah salah satu unsur yang penting dalam sebuah lagu. Melalui lirik, pengarang lagu menyampaikan pesan dan mengungkapkan ekspresinya. Dengan kata lain, dalam lagu, bahasa pun menjalankan fungsinya. Pada 1960, seorang ahli bahasa asal Rusia bernama Roman Jakobson menuliskan fungsi-fungsi bahasa yang dikembangkan lebih lanjut oleh Dell Hymes pada 1974. 

Dua fungsi bahasa yang paling sering kita temukan pada karya seni adalah fungsi emotif dan fungsi puitis. Ketika pengarang lagu berfokus pada penyampaian pesan, di situlah fungsi puitis menjalankan tugasnya. Sementara itu, fungsi emotif memenuhi perannya saat pengarang lagu berfokus pada pengungkapan ekspresi. Dua fungsi tersebut dapat diperjelas lebih jauh melalui pemaparan jenis-jenis wacana oleh Leech (1974), khususnya wacana ekspresif yang secara dominan berputar pada gagasan penutur dan wacana estetis yang bertekanan pada pesan serta keindahan pesan.

Kita tahu bahwa pesan dalam sebuah karya seni seringnya berwujud siratan—kecuali karya seni yang ditujukan untuk kampanye. Dalam lagu-lagu pop pun, saya kira, kebanyakan penulis lagu tidak terang-terangan membubuhkan pesan di dalam lagunya. Bahkan, bisa jadi, amanat-amanat dikemas dalam ungkapan ekspresi, sama seperti wacana ekspresif dan wacana estetis yang saling bersinggungan.

Sebelumnya, KPI juga pernah melakukan pelarangan pemutaran lagu-lagu Indonesia yang dianggap melanggar P3 & SPS. Alasannya kurang lebih sama, yakni muatan lirik yang terlampau vulgar. Namun, mengapa kali ini hanya lagu-lagu asing yang dimasukkan ke dalam daftar di atas?

Asumsi pertama saya, sasaran KPI adalah anak-anak Generasi Z. Nama-nama artis yang dipantau oleh KPI dinilai dekat dengan pendengar muda. Sementara itu, Jamrud dan Aura Kasih, bahkan mungkin Slank, Iwan Fals, Dewa, dan Padi, lebih sering didengar oleh Generasi X dan Y. Lalu, asumsi kedua saya, lirik dalam bahasa asing jauh mudah diterima oleh Generasi Z. Barangkali, efek puitis dan efek emotif lagu-lagu tersebut betul-betul terasa dalam benak pendengar muda. Namun, saya masih sangsi bahwa 42 lagu di atas betul-betul bisa membawa dampak buruk. Apakah ada bukti mengenai seberapa persuasifnya lagu-lagu tersebut? Entah.

Belum ada kajian yang mendalam mengenai pelarangan penyiaran 42 lagu tersebut. KPI bahkan menyatakan bahwa daftar lagu itu bisa saja bertambah dan berkurang sesuai usulan dari pihak-pihak yang berwenang. Harapan saya, semoga ada penelitian berbasis survei. Kita perlu tahu jumlah pendengar radio dari kalangan anak muda di seluruh kota, bukan cuma Jakarta. Lebih dari itu, pelarangan penyiaran lagu sebaiknya didasarkan oleh analisis wacana, bahkan kalau perlu, analisis lirik lagu.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin