Menulis “Insyaallah”

oleh Yudhistira

Insyaallah merupakan salah satu kata yang diserap dari bahasa Arab dan begitu sering kita gunakan. Saya lihat, insyaallah tidak hanya dituturkan oleh muslimin dan muslimat saja. Teman-teman saya yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan bahkan mereka yang memilih untuk tidak memeluk kepercayaan pun sering mengucapkan kata tersebut. 

Ihwal ortografis dalam kata serapan dari bahasa Arab selalu menarik untuk diulik. Coba saja tik insyaallah di mesin pencari. Kita akan berhadapan dengan bentuk-bentuk lain, seperti inshaAllah, inshaallah, insha Allah, insyaAllah, dan insya Allah. Manakah penulisan yang paling tepat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menggunakan bentuk yang sudah dibakukan dan tercatat di dalam kamus besar. 

Sebagaimana yang pernah saya tuliskan dalam “Ihwal Penyerapan Bahasa Arab”, bahasa kita tidak mengenal gabungan huruf konsonan dh. Di luar itu, kita pun tidak mengenal gabungan huruf konsonan sh. Dengan demikian, bentuk inshaAllah, inshaallah, dan insha Allah perlu kita tanggalkan.

Faktanya, entri yang tercantum di dalam KBBI edisi keempat adalah insya allah. Namun, KBBI terbaru telah memasukkan insyaallah sebagai bentuk baku. Penulisannya dirangkai sebab kata ini terdiri atas tiga unsur, in, syaa, dan Ilah (dari kata Allah) yang berdiri sebagai ungkapan dengan satu makna, yaitu ‘jika Allah mengizinkan’. 

Pola pembakuan seperti itu bisa juga kita temukan pada kata masyaallah. Tidak ada huruf yang dikapitalkan sebab insyaallah dan masyaallah merupakan satu ungkapan yang diserap. Mengenai hal ini, masih banyak orang yang tidak sepakat dan bersikukuh bahwa –allah di situ sebaiknya diawali dengan huruf besar. Padahal, jika kita telusuri lebih jauh lagi, toh bahasa Arab tidak mengenal kapitalisasi.

 

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

2 komentar

mamahelray@gmail.com 13 November 2023 - 09:40

setuju kak…

Balas
Kali 13 April 2022 - 17:10

“toh bahasa Arab tidak mengenal kapitalisasi”

Lah, jadinya ini sedang berbicara bahasa Indonesia atau bahasa Arab? Kalau bahasa Arab, ia membedakan kata ‘ilah” dan ‘Allah’. ‘Ilah’ bermakna tuhan (dengan t kecil; god), sementara lafal ‘Allah’ bermakna Tuhan (dengan t kapital) yang definitif, atau, kalau mau, Sang Tuhan. Jadi, memang bahasa Arab tidak mengenal kapitalisasi, tapi penambahan alif+lam pada kata ‘ilah’ memberi konsekuensi yang berbeda, yakni menjadikan yang umum menjadi khusus dan definitif. Lalu, bagaimana kita membedakan keduanya dalam bahasa Indonesia? Salah satunya ya bisa dengan kapitalisasi itu.

Balas

Tinggalkan Komentar