Sebelumnya, saya sudah pernah menulis bahwa sebuah kata dapat mengalami perubahan makna. Sebuah kata, maknanya bisa meluas, menyempit, menjadi negatif (peyorasi), atau menjadi positif (ameliorasi). Terlebih, arti kata juga bisa berubah karena adanya pengaruh sinestesia dan asosiasi.

Makna kata yang berubah adalah bukti dari bergeraknya zaman. Konteks ruang dan waktu memungkinkan sebuah kata untuk mengalami gejolak makna dari waktu ke waktu. Ini seturut dengan apa yang dituliskan Muis dkk. (2010) dalam Perluasan Makna Kata dan Istilah dalam Bahasa Indonesia bahwa perubahan makna kata tidak dapat dipisahkan dari pesatnya perkembangan teknologi serta fenomena sosial dan budaya.

Fenomena sosial apa yang saat ini  marak dibincangkan? Politik, tentu saja, menjadi salah satu topik yang tengah gempar di lini masa media sosial kita. Para kandidat mempromosikan rancangan strategi terbaik mereka untuk menyelesaikan permasalahan di Indonesia. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan janji-janji tersebut. Untuk mendulang suara, kata-kata disusun seindah mungkin sehingga rakyat tergugah hatinya. Pada masa seperti ini, rekayasa bahasa (linguistic engineering)—berbeda dengan bahasa rekayasa (engineered linguistic)—digencarkan.

Berbicara tentang rekayasa bahasa, Agus Suwignyo (sejarawan dan pedagog UGM) menulis sebuah artikel yang menarik. “Bangun politik negara-bangsa Indonesia dicirikan antara lain oleh struktur-konseptual bahasa sebagai fondasi ideologi yang mengikat warganya. Paradigma dan formulasi sejumlah elemen kunci, misalnya dasar negara, memuat banyak aspek rekayasa bahasa. Dapat dikatakan, timbulnya wujud resmi kekuasaan negara yang bernama ‘Indonesia’ bertumpu pada keberhasilan rekayasa bahasa,” tulis beliau. Sukarno piawai sebagai perekayasa bahasa. Sumpah Pemuda pun merupakan upaya merekayasa bahasa yang memuat ide persatuan lewat satu bahasa.

Pak Agus lantas mengafirmasi pemahaman Foucault bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sarana yang menyimpan potensi untuk membentuk, bahkan menguasai pola pikir dan keyakinan masyarakat.

Contoh yang beliau angkat sangat menarik untuk kita renungi. Kata rakyat nyatanya telah mengalami perjalanan makna yang tidak akan terpisahkan dari fenomena sosial negara kita. Pada 1930—1950-an, kata yang tadinya hanya mengartikan ‘orang-orang kecil’ ini bertransformasi, mengambil peranan penting dalam wacana politik. Lalu, pada 1950—1960-an, rakyat berasosiasi dengan gejolak kebudayaan dan pertempuran ideologi kala itu, yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia. Kata rakyat, menurut Pak Agus, perlahan-lahan lenyap dalam rezim Orde Baru yang memangkas habis aroma komunistis.

Saat ini, kata rakyat sedang diagung-agungkan kembali oleh para politikus. Lagi-lagi, untuk menjaring suara kita. ‘Orang-orang kecil’ atau ‘orang-orang biasa saja’ akan selalu terwakili dalam kata rakyat. Namun, saya rasa rakyat sekarang sudah makin sadar bahwa mereka—kita tepatnya—tidak mau lagi terjerat oleh rekayasa (‘rencana jahat atau persekongkolan untuk merugikan dan sebagainya pihak lain’) dari utusan yang seharusnya melayani.

 

Rujukan:

  • Muis, dkk. 2010. Perluasan Makna Kata dan Istilah dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
  • Suwignyo, Agus. 2023. “Rekayasa Bahasa dalam Diskursus Sosial-Politik”. Kompas.id. Diakses pada 20 November 2023.

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin