Seperti yang kita tahu, bahasa Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Di luar itu, bahasa Inggris, Belanda, Portugis, Sanskerta, dan Arab juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan bahasa kita. Kali ini, kita akan berfokus membahas penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.

Saya lihat banyak Kerabat Nara yang bertanya-tanya tentang pembakuan kosakata Arab yang telah diserap. Mengapa Ramadhan menjadi Ramadan? Mengapa shalat menjadi salat? Ditambah lagi, banyak pula yang tidak setuju terhadap pemutakhiran KBBI pada 2019. Dua tahun lalu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan perubahan ejaan pada kata-kata berikut.

  1. Alquran → Al-Qur’an
  2. Baitulmakdis → Baitulmaqdis
  3. Kakbah → Ka’bah
  4. Lailatulkadar → Lailatulqadar
  5. Masjidilaksa → Masjidilaqsa
  6. Rohulkudus → Ruhulkudus

Ada orang yang menganggap bahwa penyesuaian tersebut bisa mengubah makna, sama bahayanya dengan menyesuaikan aamiin menjadi amin. Betulkah demikian?

Pertama-tama, kita perlu membedakan transliterasi dengan penyerapan. Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Misalnya, penulisan dalam huruf Arab yang diubah menjadi huruf Latin, seperti رمضان yang ditransliterasikan menjadi Ramadhan. Namun, jika kita berbicara tentang penyerapan, hasil transliterasi perlu disesuaikan dengan kaidah ejaan yang berlaku. Bahasa Indonesia tidak mengenal gabungan huruf konsonan dh sehingga transliterasi Ramadhan dibakukan menjadi Ramadan. Hal ini juga berlaku untuk shalat. Dalam bahasa Arab, kata tersebut memiliki bunyi şad (ص) yang disesuaikan menjadi s dalam bahasa Indonesia. Lebih dari itu, bahasa kita pun tidak memiliki kata dengan gabungan huruf konsonan sh.

Penting juga bagi kita untuk mengetahui ciri pembeda antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Setiap bahasa memiliki unsur suprasegmental, yakni tekanan, nada, jeda, dan durasi yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, durasi tidak bersifat fonemis, tidak membedakan makna kata. Kebalikannya, bahasa Arab mengenal durasi sebagai pembeda makna kata. Oleh karena itu, kita hanya mengenal amin. Maknanya pun sama dengan aamiin.

Mengenai hal ini, Holy Adib dalam tulisannya yang berjudul “Takut Dosa” menuliskan satu kutipan menarik yang diambil dari buku Ilmuwan dan Bahasa (1988): “Mengenai ketetapan arti, orang tahu pula bahwa kata hanyalah bunyi yang dipilih secara acak oleh penutur bahasa bersangkutan untuk melambangkan arti yang terdapat dalam diri penutur. Dengan kata lain, arti tidak terdapat pada kata, melainkan pada diri kita sebagai penutur bahasa.”

Saya pun percaya bahwa pembakuan merupakan upaya untuk mempermudah kita. Meskipun terkadang ada juga bentuk-bentuk yang justru merepotkan kita, saya yakin setiap penyesuaian dilakukan dengan berlandaskan pada alasan yang masuk akal. Namun, jika Kerabat Nara masih tidak sreg untuk menggunakan serapan-serapan di atas, silakan saja. Kerabat Nara boleh menggunakan versi transliterasinya dalam tulisan, selama bentuk-bentuk tersebut dicetak miring sebagai kata asing.

 

Rujukan:

  • Adib, Holy. 2016. “Takut Dosa”. Diakses pada 14 April 2020.
  • Chaer, Abdul. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
  • Hudaa, Syihaabul. 2019. “Transliterasi, Serapan, dan Padanan Kata: Upaya Pemutakhiran Istilah dalam Bahasa Indonesia”. Dalam Jurnal SeBasa: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 2, No. 2, Mei, hlm. 1–6. Nusa Tenggara Barat: Universitas Hamzanwadi.
  • Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Möller, André. 2020. “Amin”. Majalah Tempo, Agustus, Jakarta.
  • Sriyanto. 2015. Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Ejaan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin