Terjebak dalam EYD
Banyak teman saya yang tidak berkecimpung dalam bidang bahasa dan sastra. Ada yang bekerja di industri pertanian, hukum, musik, dan berbagai bidang lain. Meskipun demikian, tentu saja setiap ranah membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi. Dari merekalah saya acapkali mendapatkan tawaran sebagai pekerja lepas untuk menulis, baik di situs web maupun media sosial.
Salah satu kriteria tulisan yang mereka nyatakan dibutuhkan ialah tulisan yang sesuai dengan EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan. Di Indonesia, ejaan ini berlaku sejak 1972 untuk menyempurnakan Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Barangkali, kebanyakan Kerabat Nara juga tumbuh dengan pemakaian Ejaan Yang Disempurnakan di sekolah dulu. Berkat EYD, tj ditetapkan menjadi c, dj ditulis dan dilafalkan j, nj diganti dengan ny, dan seterusnya.
Namun, perlu diketahui, sejak 2015, ejaan di Indonesia mengalami penyempurnaan kembali. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 telah menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Dengan ini, EYD pun dimutakhirkan lewat Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
PUEBI menambahkan informasi diakritik é (taling tertutup), è (taling terbuka), dan ê (pepet). Pada Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (PUEYD), hanya ada satu tanda aksen (‘). Kemudian, ada pula penambahan diftong ei yang digunakan pada kata “survei”. Sebelumnya, PUEYD hanya mencatat tiga diftong, yakni ai, ou, dan oi. Selain itu, dalam hal penegasan huruf, kata, dan kalimat, PUEBI menganjurkan kita untuk menggunakan huruf miring, bukan huruf tebal seperti tertera pada PUEYD.
Ivan Lanin sudah mencatat penyempurnaan PUEBI terhadap PUEYD yang setidaknya terdiri atas 28 butir. Kerabat Nara bisa membacanya di sini.
EYD memang merupakan ejaan yang populer di Indonesia. Namun, jika hari ini saya merujuk EYD sebagai acuan dalam menulis, tentu ada beberapa hal yang tidak sesuai. Contohnya jika saya mengikuti aturan PUEYD, saya akan menuliskan “survey”. Padahal, “survei” sudah tercatat sebagai kata baku dalam KBBI V karena adanya penambahan diftong ei pada PUEBI. Lalu, ketika ada kata yang harus ditegaskan, saya bakal menggunakan huruf tebal ketimbang huruf miring.
Barangkali, banyak teman kita yang merasa lebih akrab dengan nama EYD ketimbang EBI. Perlahan-lahan, kita bisa memberitahu mereka bahwa EBI adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku saat ini.
Rujukan:
- Astuti, Fauzia. 2019. “Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia: dari Djadoel sampai Kekinian”. Diakses pada 11 Desember 2020.
- Lanin, Ivan. 2020. “Perbedaan antara EYD dan EBI“. Diakses pada 11 Desember 2020.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin
Artikel & Berita Terbaru
- Tabah ke-145 bersama Alfan, Harapan III Duta Bahasa Nasional 2023
- Pelatihan Griyaan untuk DJKI: Belajar Menulis Berita yang Efektif
- Hadapi Tantangan Menyusun Laporan Tahunan bersama Narabahasa
- Tabah ke-144 bersama Luthfi, Harapan II Duta Bahasa Nasional 2023
- Dua Pekan Lagi Bulan Bahasa dan Sastra
- Griyaan Penulisan Wara Narabahasa untuk Kemenkeu
- Tabah ke-143 bersama Arianti, Harapan II Duta Bahasa 2023
- Bagaimana Anak Memperoleh Keterampilan Berbahasa?
- KDP Hadir Kembali: Kerinduan yang Sedikit Terobati
- Kreasi Konten Media Sosial Finalis Dubasnas 2024
- Menelisik Peran Nama pada Tempat melalui Kajian Toponimi
- Nilai Religius Ungkapan Kematian