Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu (2016) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Buku ini membuka senarai peranti kebahasaan yang sering digunakan oleh para penyair dalam menulis puisi. Pada sampul belakang, Sapardi menuliskan sebagai berikut.

“Apa yang ditulis penyair tidak serta-merta bisa diartikan secara harfiah. Gerimis bukan berarti hujan, dan bunga belum tentu berarti kembang. Kerap penyair bilang begini, tapi maksudnya begitu.”

Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengulas buku Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu. Namun, yang dituliskan oleh Sapardi di atas, apalagi judul Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu, mengingatkan saya akan implikatur, yakni perbedaan antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasikan” (Mulyana, 2001: 55). Perlu diketahui, perbedaan tersebut bukanlah kendala dalam berlangsungnya komunikasi lantaran pelaku tutur dapat memahami maksud percakapan.

Secara umum, terdapat dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan.

Implikatur Konvensional

Implikatur konvensional mengandung implikasi yang bersifat umum, konvensional, dan tahan lama. Dalam peristiwa ini, peserta tutur dianggap memiliki pengetahuan yang luas. Perhatikan contoh berikut.

A: Dia asli Madura.

B: Pantes setia.

Pada percakapan di atas, A dan B sudah memiliki pemahaman yang sama mengenai karakteristik orang Madura yang sering diasosiasikan dengan sifat kesetiaan.

Implikatur Percakapan

Sementara itu, implikatur percakapan bersifat temporer, tidak seperti implikatur konvensional. Dalam keseharian, kita secara tidak sadar sering menerapkan implikatur jenis ini. Perhatikan contoh berikut.

1. A: Ayo berangkat sekarang!

    B: Saya belum makan.

2. A: Aku haus. Ada minuman?

    B: Ada. Di warung.

Pada percakapan 1, B mengatakan bahwa dia belum makan. Berarti, A dan B tidak bisa berangkat sekarang. Sementara pada percakapan 2, ujaran B mengisyaratkan implikatur yang sengaja diterapkan untuk melanggar maksim demi mencapai efek tertentu. Contoh kedua mencerminkan bahwa implikatur bukan hanya menunjukkan kesepahaman penutur akan suatu topik ujaran. Lebih dari itu, implikatur mampu mencerminkan kedekatan pelaku tutur. 

Agaknya, “bilangnya begini, maksudnya begitu” bukan cuma senjata para penyair dalam menulis puisi. Kita mungkin sudah tahu bahwa puisi lekat dengan metafora, bahasa kiasan, dan makna konotatif. Namun, ternyata kita juga sering mengatakan ini untuk maksud itu. Mitra tutur pun bisa memahaminya. Apakah, jangan-jangan, kita memiliki bakat untuk menjadi penyair dan orang lain selaku petutur adalah pembaca yang sudah hafal dengan gaya puisi kita? 

 

Rujukan:

  • Damono, Sapardi Djoko. 2016. Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Mulyana. 2001. “Implikatur dalam Kajian Pragmatik”. Dalam Jurnal Diksi, Vol. 8 No. 19 (hlm. 53–63). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin