Kita menganut bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita tahu itu. Kendati begitu, tidak bisa dimungkiri bahwa banyak bahasa daerah yang masih diterapkan oleh masyarakat sebagai simbol identitas kelompok. Bahasa daerah pun memperkuat jalinan relasi antarsesama. Selain itu, tidak dapat dinafikan juga bahwa penguasaan dan penggunaan bahasa asing turut menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bilingual atau bahkan multilingual.
Sekilas, keberagaman bahasa barangkali dipandang sebagai anugerah. Kita sering mendengar pujian-pujian bahwa keberagaman bahasa di Indonesia adalah sebuah kekayaan budaya. Namun, kita juga sering bilang, setiap hal memiliki sisi terang dan sisi buruk. Begitu pula dengan keberagaman bahasa.
Keberagaman tidak akan tercipta tanpa adanya perbedaan. Di beberapa wilayah, perbedaan bahasa yang tidak dapat diterima justru mencetuskan konflik. Di India, contohnya, umat Hindu menggunakan bahasa Hindi, sedangkan umat Muslim menggunakan bahasa Urdu. Bahasa Hindi cenderung menyerap Sanskerta. Pada lain sisi, bahasa Urdu banyak mengadopsi unsur bahasa Arab. Upaya peresmian bahasa persatuan di India sering kali berujung pada kerusuhan. Pada 2021, diberitakan bahwa golongan sayap kanan Hindu di India menuntut sebuah perusahaan untuk menurunkan iklan musim perayaan Diwali (festival Hindu) yang menggunakan beberapa kata Urdu.
Sementara itu, di Norwegia, terdapat dua standar bahasa resmi, yakni Nynorsk–dikenal sebagai bahasa Norwegia baru–dan Bokmal–dikenal sebagai bahasa buku. Peresmian bahasa nasional yang berusaha meleburkan keduanya kerap menuai perdebatan dan sinisme antarkelompok penutur.
Saya tidak bilang bahwa bahasa merupakan pemicu utama terjadinya konflik di sebuah wilayah. Bahasa adalah salah satu pemicunya. Di luar itu, ada faktor-faktor besar lainnya, seperti ideologi agama, spirit nasionalisme, dan legitimasi kekuasaan. Dalam tulisannya, Katibu (2010) menyatakan,
“Bahasa itu sendiri bukanlah sumber konflik, baik dalam masyarakat monolingual maupun multilingual. Dominasi kelompok tertentu dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada kelompok lain merupakan pemicu konflik, yang dapat dipertegas melalui konflik bahasa.”
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah ada konflik yang muncul akibat bahasa? Pada 2019, di Maluku, ada aturan yang mewajibkan siswa di sekolah untuk berbahasa Indonesia. Namun, mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia berpotensi menerima cibiran dan hukuman. Semoga saja, kasus ini tidak berlanjut menjadi konflik yang lebih besar, tidak berujung menjadi bentrokan antarkelompok yang dipicu oleh keberagaman bahasa.
Rujukan:
- Herin, Fransiskus Pati. 2019. “Bahasa Daerah di Maluku Terancam Punah”. Kompas. Diakses pada 4 Oktober 2022.
- Katubi. 2010. “Bahasa, Identitas, dan Konflik”. Dalam Jurnal Masyarakat Indonesia, Edisi XXXVI, No. 1, hlm. 29–51. Jakarta: Kedeputian Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan (IPSK-LIPI).
- Mukhtar, Umar. 2021. “Polemik Bahasa Urdu di India”. Ihram. Diakses pada 4 Oktober 2022.
- Sukma, Bayu Permana. “Keragaman Bahasa di Indonesia: Kelemahan atau Kekuatan?”. Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra. Diakses pada 4 Oktober 2022.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin