Saya rasa Kerabat Nara sudah tahu, seorang guru di Cirebon, M. Sabil Fadhilah, dipecat dari tempatnya mengajar setelah berkomentar pada salah satu kiriman Instagram Ridwan Kamil. Komentar tersebut dinilai kasar karena menggunakan diksi maneh

Melalui tulisannya di Kompas.id, Tendy K. Somantri memberikan penjelasan mengenai undak usuk, yakni ‘sistem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, terjadi dari bahasa cakap, bahasa kasar, bahasa menengah, bahasa sedang, bahasa luwes’, dalam bahasa Sunda. “Dulu, kata kasar seperti maneh digunakan oleh menak (ningrat) saat berkomunikasi dengan cacah (awam), yang harus diladeni dengan bahasa lemes (halus),” tulisnya.

Saat ini, mungkin undak usuk tidak hanya melibatkan kelompok ningrat dan awam. Undak usuk kini sering ditemui berdasarkan status sosial penutur dan petutur, misalnya murid dengan guru, anak dengan orang tua, serta bawahan dengan atasan.

Ajip Rosidi, seorang sastrawan dan sosok yang aktif memelihara kekayaan budaya Sunda, pernah mengatakan bahwa undak usuk tidak perlu dilanjutkan. Baginya, bahasa Sunda harus bisa eksis dan digunakan secara demokratis.

Tentu saja pernyataan tersebut mengundang respons tidak setuju. Beberapa orang mengaitkan undak usuk dengan budi pekerti. Maka, seperti yang saya baca dalam tulisan Muhammad Nanda Fauzan di KumparanPlus, Ajip Rosidi menyatakan, “Tidak ada hubungan antara undak usuk dan halus budi! Jangan menganggap orang Badui tidak berbudi, atau memiliki kebudayaan rendah, hanya karena mereka tak mengenal undak usuk!”

Dalam tulisannya, Fauzan turut menjelaskan bahwa maneh tidaklah selalu menandakan kekasaran, apalagi bagi penutur Sunda yang tidak mengenal undak usuk, misalnya penutur dari Cirebon dan Banten. “Sebagai Gubernur Jawa Barat dan tokoh publik, Kang Ridwan Kamil seharusnya menyadari kekayaan bahasa Sunda. Semua dialek sama absahnya, tak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Begitulah bila kebudayaan dijadikan pegangan,” tulis Fauzan.

Lagi pula, bagi saya, apabila guru tidak boleh menggunakan kata maneh, mengapa gubernur boleh? Dalam kasus ini, apakah pertautan usia atau perbedaan status ningrat dan awam yang menjadi dasar perkaranya?

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin