Idiolek: Sebuah Anugerah

oleh Dessy Irawan

Saya pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Kami tidak selalu bertemu setiap hari. Namun, kami selalu merasa terhubung berkat aktivitas rutin via panggilan suara. Iya, hanya panggilan suara. Lebih tepatnya, idiolek miliknyalah yang mampu menjauhkan saya dari rasa sepi. Idiolek tersebut tidak dapat digantikan oleh idiolek laki-laki lain. 

Bagi saya, idiolek merupakan anugerah yang mampu membedakan antarmanusia. Kridalaksana (1980: 13) mendefinisikan idiolek sebagai keseluruhan ciri kebahasaan pada diri seseorang. Ciri itulah yang kemudian membentuk identitas yang melekat pada diri tiap manusia. Dalam dunia hiburan, misalnya, kita akrab dengan ujaran “Ashiap” yang dipopulerkan oleh Atta Halilintar. Saat kita mendengar tuturan “Ashiap”, pasti kita langsung teringat dengan sosok naravlog YouTube tersebut. Tuturan tersebut sudah melekat dalam diri Atta. 

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 62), variasi idiolek tiap orang berkenaan dengan tiga hal, yaitu warna suara, pilihan kata, dan gaya bahasa. Nah, yang paling mendominasi ialah warna suara. Itu sebabnya, saat kita bertutur, suara kita akan segera dikenali oleh orang-orang yang sudah pernah berbincang dengan kita meski tanpa bertatap muka. Idiolek merupakan cerminan suara kita yang paling alami.  

Selain fenomena “Ashiap” dari Atta, contoh varasi idiolek yang berkenaan dengan pilihan kata kerap kita temui dalam dunia hiburan. Masih ingatkah Kerabat Nara ujaran apa yang melekat dalam diri seorang Syahrini? Atau ujaran fenomenal yang melekat dalam diri Cinta Laura? Jika Kerabat Nara mampu mengingatnya, itu berarti Kerabat Nara sudah memahami konsep idiolek. 

Dalam era sekarang, perbedaan idiolek kerap menjadi aset yang sangat berharga bagi para pesohor. Lihatlah Atta Halilintar, berapa banyak endorsemen selebritas yang didapatnya hanya dengan kekhasan ujaran “Ashiap” miliknya tersebut? Begitu pun dengan Syahrini, Cinta Laura, dan pesohor-pesohor lainnya. Misal yang lain, Najwa Shihab. Manusia mana yang mampu meniru gaya bahasa milik Najwa Shihab saat membawakan program televisi? Kita memang menggunakan bahasa yang sama, bahasa Indonesia, tetapi gaya berbicara kita dengan Najwa Shihab jelas berbeda. 

Suwito (1982: 21) menguraikan dua faktor yang menyebabkan perbedaan kekhasan idiolek. Faktor pertama adalah faktor fisik, seperti mulut, bibir, gigi, dan lidah. Faktor kedua adalah faktor nonfisik, seperti latar belakang wilayah asal dan pendidikan. Ada seorang rekan kerja saya yang selalu berujar “Gas” jika ditanyai pendapat akan sesuatu. Respons “Gas” tersebut merupakan tanda bahwa dirinya sepakat dengan usulan yang diajukan oleh mitra tuturnya dan tidak ada komentar tambahan. Ujaran tersebut menjadi kental dengan pelafalan khas Jawa Timur, tempat masa tumbuhnya. Tentu, akan berbeda jika ujaran tersebut dilontarkan oleh saya yang bersuku Sunda atau oleh Pak Dirut, Ivan Lanin, yang bersuku Minang. Ya, mirip, sih, tetapi cenderung akan menjadi sebuah guyonan lisan. 

Meski berwujud variasi bahasa, idiolek tidak memiliki sistem bunyi dan tata bahasa yang baku karena idiolek hanya digunakan oleh individu. Oleh karena itu, idiolek tidak akan dapat menjadi bahasa, seperti dialek. Lantas, apa perbedaan dialek dan idiolek? Nantikan artikel berikutnya, ya, Kerabat Nara. 

 

Referensi

Chaer, A dan Leoni A. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1980. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah. 

Suwito. 1982. Pengantar Awal Sosiolinguistik. Surakarta: Hwnary Offset. 

Penulis: Dessy Irawan

Penyunting: Ivan Lanin

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar