Retorika: Dari Pidato hingga Wicara Publik

oleh Yudhistira

“Mereka yang mahir berbicara dengan mudah dapat menguasai massa, dan berhasil memasarkan gagasan mereka sehingga dapat diterima oleh orang-orang lain,” begitu tulis Gorys Keraf dalam Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa (1989). Beliau lantas menjelaskan bahwa Hitler, dengan keahliannya dalam berbicara atau berpidato, mampu menyeret bangsanya ke dalam api peperangan. Kita pun tahu bahwa Sukarno merupakan salah satu orator ulung di Indonesia.

Sekarang ini, istilah yang mungkin lebih sering terdengar adalah public speaking atau wicara publik. Apakah ada perbedaan antara pidato dan wicara publik? 

Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya jika kita melongok ke belakang. Pada zaman Yunani Kuno, seni berpidato atau oratoria dikenal dengan sebutan retorika. Sebelum tradisi tulis-menulis dilakukan, orang-orang menyampaikan gagasan dengan bahasa lisan. Pidato termasuk ke dalamnya. Buktinya, pada era retorika klasik, ada metode yang memuat ketentuan dalam berpidato sebagai berikut.

  1. Inventio atau heuresis: penemuan atau penelitian materi-materi
  2. Dispositio, taxis, atau oikonomia: penyusunan dan pengurutan materi dalam berpidato
  3. Elocutio atau lexis: pengungkapan atau penyajian gagasan dalam bahasa yang sesuai
  4. Memoria atau mneme: penghafalan pidato
  5. Actio atau hypokrisis: penyajian pidato

Metode nomor tiga memiliki keterkaitan dengan gaya bahasa. Maka dari itu, istilah retorika sering pula dikaitkan dengan gaya bahasa atau stilistika. Hal ini lantas bersinggungan dengan faktor keindahan dalam berpidato, yaitu personifikasi, repetisi, dan variasi kiasan lainnya.

Seiring berjalannya waktu, retorika makin berkembang. Retorika bukan hanya seni berbahasa lisan atau berpidato. Lebih dari itu, corak ekspresi narasi, deskripsi, argumentasi, dan eksposisi merupakan hasil dari perjalanan bentuk retorika. Istilahnya pun bergeser menjadi wicara publik.

Berdasarkan sumber-sumber yang saya baca, tidak ada perbedaan yang signifikan antara pidato (sebagai bagian dalam retorika) dan wicara publik. Namun, jika pidatopada awal kemunculannyabertekanan pada seni berbicara yang mengandalkan keindahan kata-kata, wicara publik memiliki misi yang lebih praktis, yaitu merebut perhatian audiens dengan penyampaian pesan yang efektif. Hal ini selaras dengan apa yang ditulis Nordquist (2020) dalam “The Art of Rhetoric Communication”: “Berbeda dengan pidato pada zaman dahulu, wicara publik melibatkan interaksi yang tidak hanya berfokus pada bahasa tubuh dan gaya pembacaan, tetapi pada percakapan, penyampaian, dan umpan balik. Wicara publik hari ini lebih menyoroti reaksi dan partisipasi audiens ketimbang teknik-teknik orasi.” 

#pidato #retorika #wicarapublik

Rujukan:

  • Keraf, Gorys. 1989. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores: Penerbit Nusa Indah.
  • __________. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Nordquist, Richard. 2020. “The Art of Rhetoric Communication”. ThoughtCo. Diakses pada 26 Agustus 2021.
  • Rajiyem. 2005. “Sejarah dan Perkembangan Retorika”. Dalam Humaniora, Volume 17, Nomor 2, Juni, hlm. 142153. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

 

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar