Takarir adalah salah satu elemen penting dalam konten media sosial. Ketika membuat kiriman pada Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok, kita membutuhkan teks sebagai keterangan penjelas. Bahkan, pada YouTube dan Spotify pun, ada kolom deskripsi yang perlu kita isi dengan teks.
Usman Khalil (2021) menyatakan bahwa menulis takarir lebih bertekanan pada sains daripada seni. Menurutnya, ada beberapa unsur teknis yang sebaiknya kita penuhi, seperti penggunaan tagar, tautan, dan tohokan. Khalil juga menyarankan pembuat takarir untuk menulis dengan bahasa yang dimengerti oleh audiens. Terlebih, Brian Peters (2019) dalam “The Art of Copywriting: How to Write Better Captions that Get Engagement” menulis, takarir yang sederhana, pendek, juga dikemas dengan gaya penceritaan yang memikat mampu mengundang pelibatan yang besar.
Pertanyaannya, apakah betul sains memiliki porsi yang lebih besar daripada seni dalam penulisan takarir?
Pertama-tama, kita perlu tahu tujuan pengiriman konten terlebih dahulu. Bahkan, alasan-alasan di balik pembuatan akun media sosial juga perlu dirumuskan, apalagi untuk sebuah lembaga. Perlu diketahui, citra suatu perusahaan tecermin melalui gambar serta takarir pada media sosial. Ditambah lagi, dengan mengingat tingginya angka pengguna media sosial sekarang ini, konten merupakan salah satu alat praktis dalam pemasaran.
Perdebatan tentang sains versus seni memang sudah terjadi sejak lama. Dalam ranah pemasaran pun, ada diskursus serupa. Pada 1945, Paul D. Converse menerbitkan sebuah artikel berjudul “The Development of the Science of Marketing–An Exploratory Survey”. Menurut Gareth Roberts (2019), seorang praktisi pemasaran, tulisan tersebut memantik diskusi yang menarik bagi praktisi pemasaran. Era periklanan klasik cenderung mengategorikan pemasaran sebagai bentuk seni, sedangkan era periklanan digital lebih setuju bahwa pemasaran merupakan kerja saintifik.
Tentu saja, tingkat keberhasilan pemasaran dalam media sosial dapat diukur lewat jumlah pelibatan dan perilaku serta tindakan audiens. Kita membutuhkan data sebagai bagian dari sains. Kemudian, berdasarkan temuan berbasis bukti, kita bisa mengevaluasi, sebagaimana yang ditulis oleh Roberts: “For the scientific marketer, decisions are done by means of evidence, and the scientific marketer will collect this evidence at every opportunity.”
Barangkali konten yang sebelumnya kita buat tidak terlalu menarik. Takarirnya, misal, kurang mampu menyentuh emosi pembaca. Yang harus dilakukan berikutnya adalah bermain secara kreatif dengan kata-kata demi menjerat perhatian audiens. Di sinilah seni menunjukkan perannya.
Bagi saya, membuat konten, termasuk takarir di dalamnya, adalah perihal menyeimbangkan sains dan seni. Data yang dimaksud pun bisa juga mencakup hasil riset yang akan menunjang kebutuhan tulisan. Meskipun sering kali hanya berperan sebagai pendukung atau penjelas gambar, takarir tidak semudah itu untuk dibuat. Di balik takarir, baik yang panjang maupun pendek, ada hasil pengolahan data, riset, serta kerja kesenian. Mereka berpadu, sebagaimana Einstein berujar bahwa ilmuwan terhebat juga merupakan seorang seniman.
#takarir #mediasosial
Rujukan:
- Khalil, Usman. 2021. “The Trick to Writing a Great Caption”. Diakses pada 24 Agustus 2021.
- Peters, Brian. 2019. “The Art of Copywriting: How to Write Better Captions that Get Engagement”. Diakses pada 24 Agustus 2021.
- Roberts, Gareth. 2019. “Marketing: Science or Art?”. Diakses pada 24 Agustus 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Harrits Rizqi