Peta Perjalanan Ejaan Bahasa Indonesia

oleh Yudhistira

Ejaan bahasa Indonesia memiliki umur yang panjang. Beberapa kali, ejaan kita disempurnakan. Nama ejaannya pun berganti-ganti. 

Pada zaman kolonial Belanda, ejaan yang ditetapkan adalah Ejaan van Ophuijsen. Sebelum disahkan oleh pemerintah kolonial pada 1901, ejaan ini dirancang oleh Charles Adriaan van Ophuijsen, Engku Nawawi, serta Muhammad Taib Sutan Ibrahim pada 1896. Ejaan van Ophuijsen resmi menggantikan ejaan bahasa Melayu dan mengakhiri ketidakseragaman ortografi penulisan bahasa Melayu dalam aksara Latin. Selama 46 tahun digunakan, ejaan ini adalah referensi bagi penulisan iklan-iklan dan naskah Sumpah Pemuda.

Pada 1947, penyempurnaan dilakukan. Pada waktu itu, Raden Mas Soewandi Notokoesoemo  selaku Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (PP dan K) melihat tingginya semangat masyarakat dalam berbahasa dan bersastra Indonesia setelah kemerdekaan. Soewandi lantas membentuk sebuah komisi yang bertugas untuk menetapkan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia, tata bahasa Indonesia, serta kamus baru untuk menyempurnakan kamus yang telah ada agar mampu memenuhi keperluan belajar bahasa Indonesia di sekolah. Ejaan baru ditetapkan, yakni Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.

Setelah lebih dari dua dasawarsa, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1972 melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 57. Kemudian, pada 2015, ejaan kita kembali dibarukan dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Hingga hari ini, kita berpedoman pada EBI.

Perlu diketahui pula, ada tiga ejaan yang sempat dicetuskan di Indonesia, tetapi tidak berhasil diresmikan. Ternyata, penetapan Ejaan Republik pernah memicu respons yang bertentangan. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954) melahirkan tiga keputusan mengenai ejaan, yaitu ejaan sedapat-dapatnya menggambarkan satu fonem dengan satu huruf; penetapan ejaan hendaknya dilakukan oleh suatu badan yang kompeten; dan ejaan itu hendaknya praktis, tetapi ilmiah.

Atas dasar itu, pemerintah membentuk sebuah panitia ejaan. Pada 1957, lahirlah Ejaan Pembaharuan. Dalam ejaan ini, terdapat beberapa huruf baru yang dinilai tidak praktis. 

Lebih lanjut, pada 1959, Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) bersepakat untuk menyeragamkan ejaan bahasa. Rancangan Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) diajukan. Namun, ejaan ini tidak pernah diresmikan karena terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada beberapa tahun kemudian. Lalu, pada 1966, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) juga menyampaikan rasa berat hati terhadap perencanaan Ejaan Melindo. LBK lantas membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono untuk merumuskan konsep ejaan baru. Ejaan Baru atau Ejaan LBK, berdasarkan sumber yang saya baca, tidak pernah diresmikan, tetapi menjadi dasar lahirnya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. 

Berdasarkan buku Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), inilah peta perjalanan ejaan di Indonesia hingga EYD.

Sementara itu, perbedaan antara EYD dengan EBI bisa Kerabat Nara baca pada artikel “Terjebak dalam EYD”.

#ejaan #bahasaindonesia

 

Rujukan:

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin

 

Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar