Salah satu kata yang sering muncul di dalam berita akhir-akhir ini ialah mudik. Hal ini tidak terlepaskan dari tradisi masyarakat Indonesia dalam menyambut Lebaran. Sebagian besar dari kita terbiasa untuk mudik dan merayakan Idulfitri bersama keluarga. Lebih dari itu, maraknya penyiaran berita tentang larangan mudik juga turut mendongkrak popularitas kata tersebut belakangan ini.
Tradisi mudik di Nusantara, menurut Silverio Raden Lilik Aji Sampurno—dosen Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, dapat kita temukan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Majapahit memiliki cakupan kekuasaan yang luas. Oleh sebab itu, banyak petinggi Majapahit yang bertugas di luar wilayah pusat Majapahit. Petinggi Mataram Islam pun banyak yang bertugas di luar wilayah pusat Mataram dan menghadap kembali kepada raja saat Idulfitri. Kepulangan mereka pada kemudian hari lalu diduga kuat sebagai asal fenomena mudik.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, Muhammad Yuanda Zara menuliskan bahwa tradisi mudik bersinggungan dengan besarnya angan-angan masyarakat terhadap Jakarta. Ibu kota diharap bisa memakmurkan hidup. Banyak orang yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan melepas rindu terhadap keluarganya masing-masing dengan pulang ke kampung. Kelak, pemerintah Indonesia pada 1960-an mulai menaruh perhatian serius terhadap fenomena mudik. Jalur kereta api pada masa kolonial dihidupkan kembali dan kereta tambahan pun diupayakan sehingga masyarakat memiliki banyak opsi untuk bisa mudik. Kemudian, pada 1980-an, masyarakat sudah terbiasa untuk mudik dengan pesawat, bus, kereta api, bahkan kendaraan pribadi.
Sepertinya, tradisi mudik di Indonesia memang sudah memiliki perjalanan yang panjang. Kita bisa lihat, sejak zaman kerajaan, fenomena mudik bukan suatu hal yang asing lagi. Kebiasaan tersebut makin berkembang seiring dengan majunya teknologi dan persebaran penduduk. Lalu, bagaimana sejarah penggunaan kata mudik?
Ada penelusuran yang menarik mengenai tradisi mudik. Saptoyo dalam “Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran” menghubungi Ivan Lanin untuk melacak penggunaan kata mudik. Ternyata, kata tersebut sudah dipakai pada naskah Hikayat Raja Pasai yang bertarikh sekitar 1390. Kata mudik pada hikayat tersebut mewakili arti ‘pergi ke hulu sungai’.
Sementara itu, menurut Ridwan Saidi, seorang budayawan Betawi, kata mudik lahir dari lidah orang Betawi, penduduk Batavia. Kembali ke udik mengartikan ‘kembali atau pulang ke kampung’. Pada lain sisi, ada anggapan bahwa masyarakat Jawa mengartikan mudik sebagai singkatan dari mulih dhisik, ‘pulang dulu’. Lain dari itu, Yuanda Zara menyatakan bahwa mudik berawal dari sebuah surat kabar pada 1983 yang memberitakan kisah para tentara di Yogyakarta. Menurut beliau, mudik berarti ‘pulang dari kota ke bagian hulunya (desa)’.
Jika merujuk pada KBBI V daring, udik berarti ‘sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber); (daerah) di hulu sungai’ dan ‘desa; dusun; kampung (lawan kota)’. Kemudian, mudik berarti ‘(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)’ dan ‘pulang ke kampung halaman’. Perlu diketahui pula, kamus kita mencatat makna ketiga pada entri hulu sebagai ‘desa; udik’.
Dari semua penjelasan di atas, saya menyimpulkan satu frasa yang puitis: pulang ke hulu. Entri hulu juga memiliki arti ‘permulaan; pangkal; awal’. Dengan demikian, menurut saya, mudik saat Lebaran bukanlah sekadar kegiatan untuk melepas rindu bersama keluarga. Lebih dari itu, mudik adalah pulang ke permulaan, pangkal, atau awal untuk membersihkan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Rujukan:
- Alsair, Ahmad Hidayat. 2019. “Ternyata Ini Asal Usul Kata ‘Mudik’ dan ‘Lebaran’”. Diakses pada 12 Mei 2021.
- Pamungkas, M. Fazil. 2021. “Sejarah Mudik Lebaran”. Diakses pada 12 Mei 2021.
- Saptoyo, Rosy Dewi Arianti. 2021. “Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran”. Diakses pada 12 Mei 2021.
Penulis: Yudhistira
Penyunting: Ivan Lanin