Maecenas

oleh Yudhistira

Saya sedang membaca sebuah buku karya Jakob Sumardjo. Judulnya Pengantar Novel Indonesia (1983). Buku ini memuat ulasan dan kritikan Sumardjo terhadap novel-novel berbahasa Indonesia yang terbit pada kurun 1970–1980-an. Dalam bagian pendahuluan, sang penulis menyatakan bahwa kegiatan sastra di Jakarta begitu bergelora pada 1970-an.

“Acara Pertemuan Sastrawan Indonesia, sayembara roman dan sayembara drama, penerbitan karya-karya sastra, pembacaan puisi, pementasan drama, berkembangnya grup-grup teater, merupakan kejadian sastra yang sangat ketat frekuensinya seperti belum pernah terjadi dalam dekade-dekade sebelumnya. Acara-acara yang mahal itu tak mungkin ada tanpa bantuan maecenas,” tulis Sumardjo.

Maecenas adalah kata yang sudah lama tidak saya dengar. Saya bahkan hampir lupa artinya. Ketika menelusurinya di Google, saya menemukan berita dengan tajuk “Peduli budaya, Bupati Purwakarta dianugerahi penghargaan ‘Maecenas’”. Maecenas, saat ini, adalah gelar budaya bagi mereka yang bekerja, baik langsung maupun tidak, dalam ranah seni. Orang yang mendapatkan gelar maecenas dinilai telah memberikan sumbangsih dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan. Tokoh yang pernah dianugerahi gelar ini adalah Ratna Riantiarno, Jajang C. Noer, dan Slamet Rahardjo.

Kata maecenas diambil dari nama seorang diplomat Romawi Kuno, yakni Gaius Maecenas. Selain dikenal sebagai penasihat bagi Kaisar Agustus, Maecenas pun populer sebagai teladan dalam bidang seni, khususnya sastra.

Mengenai kata ini, ada beberapa definisi menarik yang saya temukan. Etymonline mengartikan maecenas sebagai ‘a generous patron of literature or the arts’ atau ‘pelindung dermawan dalam sastra atau seni’. Collins Dictionary punya beberapa arti untuk kata ini, yakni ‘a generous patron of literature or the arts’, ‘any wealthy, generous patron, esp. of literature or art’, dan ‘a generous patron or supporter, esp. of art, music, or literature’. Bisa kita lihat, generous dan patron selalu muncul. Merriam-Webster pun membubuhkan makna ‘a generous patron especially of literature or art’ pada kata ini.

Apa yang dilakukan oleh Maecenas pada masanya adalah mendukung berkembangnya penyair-penyair muda. Tujuannya memang politis, yaitu menjadikan seni sebagai salah satu instrumen untuk menggaungkan kekuasaan rezim Kaisar Agustus. Namun, dalam sebuah esai yang panjang, Lanfranco Aceti menyatakan bahwa maecenas pada saat ini berbeda dengan zaman Maecenas. “Patronage is no longer in support of an artist’s career but conceived as a one-off commission of a large work of art,” tulisnya.

Alih-alih mendukung seorang seniman atau sebuah proyek seni dalam jangka panjang, tujuan maecenas telah sedikit bergeser, yakni keuntungan material. Pada zaman Romawi Kuno, Maecenas dianggap sebagai a generous patron (pelindung dermawan) karena dia menjadikan seni sebagai salah satu pilar untuk mempromosikan kebudayaan, bukan hanya creating a work to decorate a public square or an apartment seperti yang ditulis Aceti.

Mungkin, karena pergeseran tersebut, maecenas dalam KBBI hari ini turut dimaknai sebagai ‘hartawan’. Bahkan, pada beberapa waktu, maecenas digunakan untuk menggantikan kata sponsor.

 

Rujukan:

 

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin



Anda mungkin tertarik membaca

Tinggalkan Komentar