Memaki, mengumpat, atau berkata-kata kasar mencerminkan sikap yang kurang baik dari seorang manusia. Kendati begitu, kita tetap saja melakukannya, apalagi dalam situasi-situasi yang tidak mengenakkan. Pernahkah Kerabat Nara mengidentifikasi kata-kata kasar apa yang terucapkan begitu saja tatkala emosi demikian memuncak?

I Dewa Putu Wijana, guru besar bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, menuliskan hasil penelitian tentang jenis makian dalam bahasa Indonesia. Menurut beliau, topik ini jarang dibahas. Peneliti-peneliti lain terkesan lebih tertarik untuk mengkaji eufemisme. Padahal, seperti yang saya singgung sebelumnya, makian merupakan salah satu ujaran atau bentuk ekspresi yang sering kita dengar setiap harinya.

Menurut Wijana, makian dalam bahasa Indonesia dapat berbentuk kata, frasa, atau klausa. Secara berturut-turut, contohnya sebagai berikut.

  1. Anjing! Kurang ajar sekali kau.
  2. Dasar gila. Kamu pikir kamu sedang berhadapan dengan siapa?
  3. Setan alas kamu! Kamu tidak tahu cara berterima kasih kepadaku?

Wijana juga menjelaskan bahwa makian dalam bahasa kita bisa dikategorikan berdasarkan referen atau acuannya masing-masing.

Keadaan

Keadaan adalah referen paling umum yang dapat memicu terlontarnya makian. Untuk mencerminkan keadaan mental, kita terbiasa mendengar makian bodoh, gila, dan tolol; untuk mencerminkan keadaan yang tabu atau sesuatu yang dilarang oleh ajaran keagamaan, terdapat makian kafir, jahanam, dan terkutuk; serta untuk menunjukkan keadaan buruk yang menimpa seseorang, lahirlah makian sialan, mati, dan mampus. 

Perlu diingat, contoh-contoh di atas dapat kita temukan juga dalam keadaan terkejut, heran, dan kagum.

Binatang

Kita tahu bahwa jenis-jenis binatang sering kali dilontarkan sebagai makian. Bagi Wijana, binatang-binatang yang pernah kita gunakan sebagai makian mencerminkan sifat binatang tersebut. Anjing, misalnya, dianggap memiliki sifat yang menjijikkan karena air liurnya. Babi lekat dengan makna ‘haram’. Kemudian, bangsat dianggap sebagai hewan yang mengganggu.

Benda

Nyatanya, makian tidak hanya bisa diwakili oleh jenis binatang. Salah satu makian yang berupa benda ialah tahi atau tai.

Bagian Tubuh dan Aktivitas Seksual

Bagian tubuh dan aktivitas seksual kerap dijadikan sebagai makian sebab sifatnya yang personal. Tanpa perlu disebutkan, saya rasa Kerabat Nara sudah tahu contoh-contoh makian yang merupakan bagian tubuh dan aktivitas seksual.

Kekerabatan

Makian berbentuk kekerabatan, sejujurnya, sering sekali saya terapkan bersama teman-teman semasa kecil. Contohnya ialah Bapak lo!, Mak lo!, dan Encing lo!

Profesi

Bagi Wijana, profesi yang sering dijadikan sebagai bahan makian adalah profesi yang dianggap rendah, seperti Dasar tukang sapu! atau Dasar pengemis! Selain itu, ada pula profesi yang dilarang oleh agama yang dilemparkan sebagai makian, seperti Pelacur!, Gigolo!, dan Maling!

Makian berdasarkan referennya begitu beragam. Makian dapat berbentuk kata, frasa, atau klausa. Tanpa disadari, saya rasa kita semua pernah mendengar makian-makian tersebut diucapkan oleh seseorang.

Pada awal tulisan, saya sebutkan bahwa memaki merupakan cerminan atas sikap yang kurang baik. Saya jadi teringat, ketika merantau ke Surabaya pada 2014, ada seorang teman saya yang memiliki pandangan lain. Baginya, memaki bukan semata-mata respons yang telah kita biasakan, bukan pula sebatas cerminan atas keadaan terkejut, heran, atau kagum. Menurut teman saya itu, umpatan merupakan bentuk keakraban.

“Aku nggak bakal ngomong kasar kepada kamu kalo kita nggak saling kenal.” Kira-kira begitu tuturnya.

#makian #umpatan

Rujukan: Wijana, I Putu Dewa. 2004. “Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya”. Dalam Jurnal Humaniora, Volume 16, Nomor 3, Oktober, hlm. 242–251. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Ivan Lanin